"Yok, Yok, Pakmu teko, ngenteni neng ruang guru, buruan parani," teriak temanku, Suryo.
"Hah? Bapak enek opo neng sekolahan yo, Sur?" tanyaku penuh tanda tanya.
Suryo hanya melebarkan kedua tangannya, sementara dari arah belakangku terdengar Firdaus mengeluarkan kata-kata penuh penghinaan.
"Hey anak deso, bapakmu ngirim belut tuuh, jangan pura-pura tidak tahu."
Yang lian tertawa senang mendengar lelucon Firdaus. Tanpa menoleh ke arah Firdaus, aku berlalu menuju ruang guru, mumpung jam istirahat belum habis. Dia kalau dilayani semakin menjadi menghina.Â
Dalam hati kesal juga kepada Firdaus yang tak henti memanggilku anak deso, walaupun benar adanya, aku berasal dari kampung. Namun, terasa menyakitkan jika diucapkan oleh si Anak kaya  yang sombong itu.
"Anak kampung ke kantin, apa punya duit? Jual gabah dulu baru dia bisa jajan."
"Sekolah ini khusus anak-anak kota, ngapain anak kampung berada di sini, bikin kotor saja."
Itulah hinaan yang sering aku dengar sejak masuk di kelas sepuluh satu. Awal-awal aku muak direndahkan anak itu, hingga ingin memukulnya. Namun, petuah dari Bapak menghalangiku berbuat jahatÂ
"Sekolah itu milik anak-anak yang mau pintar."