Saya sering memperkenalkan diri sebagai ibu rumah tangga dan petani kepada teman baru. Namun, sering kali mereka tidak percaya.
"Masa petani?"Â
Mungkin perawakan saya tidak mendukung sebagai petani atau hanya bercanda saja.
Memang saya ke sawah bukan untuk tandur, derep, petik padi, ngarit atau matun, melainkan hanya cek ricek saja. Kita perlu tahu pertumbuhan tanaman, sampai di mana pekerja menyelesaikan pekerjaannya.
Saya bukan petani asli yang dibesarkan dari kecil di lingkungan sawah. Saya pun tidak mengenal jenis beras, jenis pupuk. Dulu saya hanya tahu satu jenis beras yakni beras bagian PNS zaman Soeharto. Setiap bulan bapak dapat bagian beras dari kantornya, Depag. Beras itu kuning, bear, ibu saya sering memberi tepung kanji agar pulen.
Sejak menikah dengan petani desa, 2003, sedikit demi sedikit saya belajar tentang padi, sawah, pupuk, benih dari suami. Dari hasil sinau, rasanya sayang kalau tidak dituliskan. Siapa tahu kelak bermanfaat untuk anak cucu. Walaupun menjadi petani bukan prioritas mereka, setidaknya tahu teorinya.
Menulis dari Pengalaman Pribadi
Awal menulis di Kompasiana masih gado-gado, selanjutnya tahu tek, tahu campur, tepo tahu, tahu kecap, tahu petis. Akhirnya kita sama-sama tahu kalau tulisannya seperti es campur, hehe.
Saya pernah bertanya pada Pak Budi Susilo, begitu sapaannya terkait tema menulis di Kompasiana. Pak Budi menjawab tulis saja yang dekat dengan kita biar mudah menulisnya.
Tahun 2020, saya mulai menulis pengalaman pribadi, tradisi di desa juga seputar pertanian. Tak jarang ketika menulis pertanian masuk Artikel Utama (AU) dan dilihat ribuan orang, tetapi jarang dapat K-reward. Tidak apa-apa, yang penting tulisan saya bermanfaat, bisa membuka wawasan baru buat saya dan pembaca. Kalau dapat reward bonus dan patut disyukuri.