Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harga Beras Melambung, Haruskah Stop Prasmanan Saat Hajatan?

27 September 2023   17:06 Diperbarui: 1 Oktober 2023   07:24 444
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
  Ilustrasi harga beras naik, foto dari Shutterstock/Jaded Art melalui Kompas.com

Harga beras di berbagai wilayah terus melambung, hingga mencapai Rp13.000 per kilogramnya. Hal ini memicu aksi demo para buruh di Jakarta. Mereka meminta pemerintah menurunkan harga beras.

Bisa dipahami jika warga merasa keberatan dengan harga beras, karena itu makanan yang harus ada setiap hari, tidak bisa diganti dengan makanan lain. Ada istilah jika belum makan nasi, belum makan, walaupun sudah makan ketela, roti, mie.

Saya menilai kenaikan harga beras sudah menjadi pola. Setiap pertengahan musim tanam ketiga harga gabah naik, beras pun ikut naik. 

Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah, mulai dari Bansos, operasi pasar. Namun, harga terus naik, karena gabah di petani juga tinggi hingga mencapai Rp8.000 per kilogramnya. Permasalahannya di tingkat petani gabah kering kosong. Bahkan gudang padi di belakang rumah pun sudah lama isinya tikus kelaparan. Selengkapnya bisa simak di sini.  

Kenaikan harga beras di Kota Madiun mendapat perhatian dari Wali Kota, sering disapa Pak Maidi. Dia menghimbau masyarakat yang mengadakan hajatan, baik pernikahan atau khitanan tidak menyiapkan prasmanan, gantinya nasi kotak dan dibawa pulang seperti saat PPKM.  

Nasi tersebut menurut orang nomor satu di Kota Madiun, bisa dimakan satu keluarga di rumah. Itu bisa menghemat beras. 

Harga Beras Melonjak, Stop Budaya Prasmanan Saat Hajatan

Himbauan Wali Kota Madiun kepada warganya yang melaksanakan hajatan untuk tidak prasmanan, apakah ketika harga beras naik saja? Kejelasannya saya kurang paham.  

Saya ingin membandingkan dengan tradisi desa di mana saya tinggal. Secara administrasi, kampung saya masuk wilayah Kabupaten Madiun. Berdasarkan jaraknya, lebih dekat ke pusat kota dari pada ke kabupaten yang ada di Caruban.

Walaupun dekat dengan kota, banyak tradisi yang masih kami lestarikan, salah satunya adalah berkatan saat hadiri undangan pernikahan. 

Berkatan ini adalah nasi dan lauknya yang dibungkus kertas untuk isi tas gawan. Istilahnya ucapan terima kasih dari pemangku hajat kepada tamu yang telah hadir di acara hajatan itu. 

Jika kehabisan nasi, tas gawan akan diisi mie mentah atau kue kering, jajanan pasar. Jajan pasar seperti rengginang, rumah tawon, wajid, jadah, pisang kepok.

Contoh nasi berkatan ketika undangan pernikahan di desa sebelah. Foto dokpri 
Contoh nasi berkatan ketika undangan pernikahan di desa sebelah. Foto dokpri 

Dulu tradisi ini masih dilaksanakan oleh semua warga. Sekarang, sebagian warga yang hajatan lebih memilih memberi berkatan (mulang isi tas) dengan kue kering dan minuman botol, seperti teh botol. Alasannya sih lebih praktis. 

Menurut saya, tradisi berkatan memudar karena kurangnya tenaga menanak . Nasi dan lauk pun terkadang tidak ada yang makan. Nasi itu sering kali diberikan ke ayam atau dijemur jadi aron. 

Bagi warga yang masih fanatik tetap melaksanakan tradisi tersebut, karena lebih ringan biayanya jika dibandingkan dengan berkatan kue kering. Bagi warga desa lebih murah karena beras tidak beli, mereka punya sendiri. Tenaga masak pun gotong royong. Jika bayar pun tidak semahal di kota besar. 

Menyikapi Himbauan Stop Prasmanan 

Dari hasil perbandingan dengan tradisi di desa. Prasmanan saat hajatan perlu. Jujur, alasan kita  menghadiri undangan salah satunya prasmanan. Kalau tidak makan males ke undangan, heheh ... Namun, penting diperhatikan juga oleh kita, jika ambil makan prasmanan jangan asal ambil, piring penuh, tetapi nasi tidak dihabiskan. Ambillah nasi prasmanan secukupnya agar tidak mubazir.

Menurut hemat saya, jika hajatan penting juga prasmanan dan nasi kotak sebagai berkatan, tanda ucapan terima kasih telah hadir dan mendoakan mempelai.

Di desa pun tradisi berkatan dengan nasi dan lauk perlu dipertahankan dan diperbaiki, terutama lauknya. Tidak perlu ada ayam atau daging, tetapi lebih patut agar bisa dimakan.

Waah, boros beras dong bagi yang hajatan? Prasmanan juga nasi kotak. Ya namanya juga punya hajat, untungnya dapat mantu satu, lalu cucu, buyut. 

Saat prasmanan tamu undangan tidak semuanya makan banyak, apalagi di desa tempat prasmanan dijaga sama ibu-ibu, mau ambil banyak malu, karena diplototi terus. Jadi tidak akan boros beras. 

Apalagi saat temu manten, prasmanan, ambil makan sendiri jarang ada, tamu undangan dilayani, makanan datang diantar oleh laden (warga yang bertugas).

Seperti gambar berikut:

Foto karang taruna yang mengantar makan untuk tamu undangan. Foto dokpri
Foto karang taruna yang mengantar makan untuk tamu undangan. Foto dokpri

Foto nasi yang diantar laden pada acara pernikahan Foto dokpri.
Foto nasi yang diantar laden pada acara pernikahan Foto dokpri.

Terima kasih telah singgah. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun