Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Petani N dideso

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kenangan Ramadan Tahun 90-an di Kampung

2 April 2023   14:50 Diperbarui: 2 April 2023   15:00 1047
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kenangan Ramadan Tahun 90-an di Kampung. Foto dokpri

"De, De, lagi apa? sepedanya agak minggir ya, Bude mau lewat!" kata saya setelah turun dari kendaraan.

Anak-anak itu bermain di pinggir sawah sambil membawa petasan. Sepedanya diparkir tak beraturan di jalan kampung. Kendaraan lain pun agak susah lewat karena jalan itu sempit cukup satu mobil.

Anak-anak itu menepi, memberi jalan agar kendaraan saya bisa lewat. Mendapat akses, saya tidak segera naik ke dalam mobil. Penasaran dengan apa yang akan mereka lakukan.

"Adik mau main apa di sawah?"

Mereka memandang penuh heran. Saya menyadari walaupun anak-anak ini tinggal satu desa, kami tidak saling kenal. Baiklah saya tidak mendapat jawaban, tetapi bisa dipastikan mereka akan main petasan.

"Cepat naik, dari lawan arah ada mobil lain mau lewat," teriak suami. Saya pun bergegas naik. Tampak dari arah depan, mobil sedan berhenti di pertigaan. Kami secara bergantian melewati jalan baru itu.

***

Anak-anak main di parit saat puasa Ramadan. Foto dokpri
Anak-anak main di parit saat puasa Ramadan. Foto dokpri

Selain bertemu dengan anak-anak tadi, saya pun sering melihat anak lain bermain di pinggir parit dekat sawah, seperti Minggu pagi tadi. Sepeda saya pinggirkan dan menyapa mereka.

"Cari apa, De?"

"Ikan, Bude," jawab salah satu anak.

"Puasa gak, pagi-pagi sudah main?"

"Puasa dong, Bude," kata anak yang paling besar.

Setelah ambil beberapa gambar dan mengucapkan terima kasih, saya berlalu ke arah utara melanjutkan olahraga.

Ketika perjalanan pulang, saya bertemu dengan anak-anak yang sedang bermain di depan rumahnya. Saya pun menepi dan menyapa mereka.

Anak-anak sedang bermain. Foto dokpri
Anak-anak sedang bermain. Foto dokpri

***

Melihat anak-anak bermain di alam, jadi teringat masa kecil dulu ketika Bapak bertugas mengajar di Desa Gunungkuning. Desa itu jauh dari kota, saya bermainnya di kebun, hutan. Kadang naik pohon, kadang juga turun ke selokan mencari anak ikan.

Pagi setelah mendengarkan kuliah subuh di musala, saya dan teman-teman keliling kampung. Bukan sekadar jalan bergerombol, bercanda, jika ada hal yang menarik, kami berhenti. Misalnya ketika melewati parit, saya akan turun dan mengumpulkan remis. Ketika melihat pohon kersem, saya naik dan memetik buahnya yang sudah matang. 

Sampai di rumah oleh-oleh itu disimpan di wadah plastik atau ceting.

"Mi, ini nanti untuk buka puasa." Ibu yang disapa Mimi hanya geleng-geleng kepala karena tak jarang buah kersem itu tidak dimakan saat berbuka, tetapi dibawa tarawih di musala.

"Minta, manis gak?" pinta teman jelang salat tarawih.

Buah kersem yang mirip anggur dikeluarkan dari plastik yang tertutup oleh mukena. Kami makan buah kersem dengan cara sembunyi-sembunyi.

Kegiatan Bulan Ramadan Dulu dan Sekarang

Kegiatan pagi hari yang dilakukan sebagian anak-anak di desa sekarang ini, tidak jauh beda dengan masa kecil saya. Namun, anak sekarang hanya bisa melakukannya pada hari Sabtu dan Minggu karena hari lain sekolah. Itu pun hanya sebagian kecil anak saja, sebagian besar anak mungkin pulas tidur atau asyik bermain ponsel.

Kalau dulu, setelah makan sahur anak-anak ke musala untuk melaksanakan salat Subuh dan mendengarkan, mencatat ceramah. Setelah itu jalan-jalan keliling kampung dengan mukena atau sarung di leher.

Bulan Ramadan pada zaman dulu, sekolah libur selama satu bulan penuh. Kegiatan pondok Ramadan dilakukan di masjid atau madrasah pada siang hari hingga menjelang magrib.

Namanya bukan pondok Ramadan, tetapi pesantren kilat. Kami belajar agama selama bulan puasa, mulai dari pelajaran fikih, akidah akhlak, sejarah Islam, membaca Alquran, hingga Bahasa Arab. Para pengajar adalah pegawai Depag atau pengajar dari Mts. dan Aliyah. 

Untuk pesantren kilat, saya ikut Bapak di Masjid yang ada di pusat kota. Kebetulan Bapak salah satu pengajarnya. Kata Mimi, "Pesantren kilat bareng Bapak wae, gratis, lagian biar di rumah gak main terus, lieur Mimina."

Dari siang hingga sore Mimi bebas tugas menjaga saya yang katanya suka main ke hutan. Bapak selain mengajar di pesantren kilat kelas 5, sesekali lihat saya di kelompok kelas lain.

Pengelompokan disesuaikan dengan tingkat kelas di sekolah dasar. Jika saya kelas tiga akan bertemu dengan anak SD lain kelas tiga juga. Laki-laki dan perempuan kelompoknya  terpisah. 

Kegiatan pesantren kilat sangat padat, tak jarang banyak anak yang tertidur termasuk saya. Ini karena dari sahur tidak tidur lagi.

Pengajar sudah maklum kelelahan anak-anak, sehingga dibiarkan saja sampai anak bangun sendiri. Parahnya saya sering dibangunkan Bapak ketika jam pulang.

Anak-anak bermain setelah tarawih. Foto dokpri
Anak-anak bermain setelah tarawih. Foto dokpri

Pondok Ramadan sekarang anak-anak melaksanakannya di sekolah masing-masing, itu pun waktunya tidak satu bulan, tetapi hanya satu pekan. Kata anak saya bergilir dengan kelas lain. Kegiatan pondok Ramadan sekarang berbayar melalui transfer ke rekening. 

Kegiatan Ramadan dulu dan sekarang mungkin berbeda, tetapi tujuannya sama, yakni meningkatkan keimanan dan ketakwaan anak.

Setiap masa ada kisah dan hikmah. Semoga kisah saya dulu ada hikmahnya.

Terima kasih telah singgah.

_Sri Rohmatiah Djalil_

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun