Sudah menjadi keseharian Mang Kardi membuka warung di pagi hari dan menutupnya kembali jelang tengah malam.
Seperti tak ada lelah, semua dilakukannya bersama istri tercinta, Ceu Entin. Bagi pendaki seperti kami, warung Pak Kardi tak asing lagi
Warung bambu berukuran kira-kira 2 x 3 meter dengan atap alang-alang menyediakan aneka makanan untuk ganjal perut. Mie rebus, kopi panas, teh panas, pisang goreng menjadi makanan favorit pendaki. Satu lagi minuman andalan para pemuda pemudi penjelajah, yakni bajigur.Â
"Mang, punteun bajigurna lima ya!" ucap Asep seraya mengambil tempat duduk di bangku paling pojok.Â
Ransel besar dibiarkannya tergeletak di atas tanah.
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB, aku pun segera menyimpan ransel yang lebih kecil dari milik Asep di amben yang telah disiapkan Mang Kardi.
Tanganku menggandeng Irma menuju surau kecil di samping warung.
"Kita salat Ashar dulu, baru makan, minum, Ma!" ajakku.
Irma menganggukkan kepala.
"Kita naik kapan, Teh?"
"Biasanya selesai salat Maghrib. Nanti salat Maghrib dan Isya dijamak takdim. Menjelang subuh kita sudah sampai puncak dan bisa salat di atas gunung."Â
Lagi-lagi Irma mengangguk.
Lima belas menit berlalu, aku dan Irma sudah berada di dalam warung Mang Kardi.
Jaket tebal aku rapatkan, sebab udara dingin berusaha menembus bagian dalam kulitku.
Di luar sana perkebunan kubis, wortel, mulai tak tampak, hanya redup-redup.
"Bajigurna mana, Mang?" tanyaku pada Mang Kardi yang sedang sibuk menyiapkan gelas kecil berwarna kuning khas gunung.Â
"Ieu, Neng nuju didamel ku si Eceu, sakedap nya." Mang Kardi menunjuk istrinya.
Aroma jahe dan gula jawa pegunungan menyengat panca indraku dari arah pawon yang tak jauh dari tempat kami duduk.
Kulirik 3 jagoan yang akan mendampingi kami dalam perjalanan kali ini. Tangan mereka sibuk mengusap-usap pipi setelah kedua telapak digosokkan.
Konon, telapak tangan itu akan menyalurkan kehangatan pada pipi. Aku pun mengikutinya dan mengulangnya beberapa kali hingga bajigur itu ada di depan mata.
"Mangga, Neng, Ujang, bajigurna mumpung haneut!" seru Ceu Entin sembari menaruh baki yang terisi 5 gelas bajigur dan sendok kecil.
Aku mengambil satu gelas disusul dengan yang lain. Tiba-tiba, Asep memperhatikan bajigur itu dan melihatku dengan mata heran. Satu sendok dia mencobanya, kembali menatapku. Sangat dalam hingga aku salah tingkah.
"Kamu kenapa, Sep, ada yang salah dengan wajahku?"
Teman-temanku ikut memperhatikan wajahku penuh heran.
"Wajahmu biasa saja, masih sama kayak tadi, kemarin, bahkan tahun lalu dan lalu," sela Umar sambil mengerutkan kedua alisnya.
"Itu dia, Mar, ko sama saja, gak ubah-ubah," sahut Asep.
"Sama saja gimana maksudnya, Sep?" Suaraku sedikit meninggi dan mulut ini sepertinya maju 2 sentimeter.
"Jangan marah, Neng. Wajahmu sama kayak bajigur, tapi manis," ujar Asep kemudian.
Semua temanku tertawa reyah bak reginang yang ambyar di mulut.
"Iya, betul, betul itu maksudku, Sep, kayak bajigur, butek, tapi manis." Umar tertawa terpingkal-pingkal.
"Aku kasih bubuk cabe tuh bajigur kalian, biar kepanasan, tahu rasa!" ketusku, tetapi itu hanya pura-pura, karena aku tahu mereka hanya bercanda.
Menjadi temannya selama di SMA tentu sudah hafal bagaimana karakter Asep, Umar, Irma, dan satu lagi si pendiam Anan. Ya Anan, sejak tadi hanya tersenyum menyaksikan canda kami.
Bajigur, minuman khas pegunungan terbuat dari santan, gula jawa, jahe, kulang-kaling menambah kehangatan persahabatan kami di tengah dinginnya udara kaki Gunung Ciremai.
Semoga bermanfaat
Terima kasih telah membaca,
Salam,
_SRD_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H