"Mangga, Neng, Ujang, bajigurna mumpung haneut!" seru Ceu Entin sembari menaruh baki yang terisi 5 gelas bajigur dan sendok kecil.
Aku mengambil satu gelas disusul dengan yang lain. Tiba-tiba, Asep memperhatikan bajigur itu dan melihatku dengan mata heran. Satu sendok dia mencobanya, kembali menatapku. Sangat dalam hingga aku salah tingkah.
"Kamu kenapa, Sep, ada yang salah dengan wajahku?"
Teman-temanku ikut memperhatikan wajahku penuh heran.
"Wajahmu biasa saja, masih sama kayak tadi, kemarin, bahkan tahun lalu dan lalu," sela Umar sambil mengerutkan kedua alisnya.
"Itu dia, Mar, ko sama saja, gak ubah-ubah," sahut Asep.
"Sama saja gimana maksudnya, Sep?" Suaraku sedikit meninggi dan mulut ini sepertinya maju 2 sentimeter.
"Jangan marah, Neng. Wajahmu sama kayak bajigur, tapi manis," ujar Asep kemudian.
Semua temanku tertawa reyah bak reginang yang ambyar di mulut.
"Iya, betul, betul itu maksudku, Sep, kayak bajigur, butek, tapi manis." Umar tertawa terpingkal-pingkal.
"Aku kasih bubuk cabe tuh bajigur kalian, biar kepanasan, tahu rasa!" ketusku, tetapi itu hanya pura-pura, karena aku tahu mereka hanya bercanda.