"Biasanya selesai salat Maghrib. Nanti salat Maghrib dan Isya dijamak takdim. Menjelang subuh kita sudah sampai puncak dan bisa salat di atas gunung."Â
Lagi-lagi Irma mengangguk.
Lima belas menit berlalu, aku dan Irma sudah berada di dalam warung Mang Kardi.
Jaket tebal aku rapatkan, sebab udara dingin berusaha menembus bagian dalam kulitku.
Di luar sana perkebunan kubis, wortel, mulai tak tampak, hanya redup-redup.
"Bajigurna mana, Mang?" tanyaku pada Mang Kardi yang sedang sibuk menyiapkan gelas kecil berwarna kuning khas gunung.Â
"Ieu, Neng nuju didamel ku si Eceu, sakedap nya." Mang Kardi menunjuk istrinya.
Aroma jahe dan gula jawa pegunungan menyengat panca indraku dari arah pawon yang tak jauh dari tempat kami duduk.
Kulirik 3 jagoan yang akan mendampingi kami dalam perjalanan kali ini. Tangan mereka sibuk mengusap-usap pipi setelah kedua telapak digosokkan.
Konon, telapak tangan itu akan menyalurkan kehangatan pada pipi. Aku pun mengikutinya dan mengulangnya beberapa kali hingga bajigur itu ada di depan mata.