Setelah anak merasa nyaman ngobrol, saya memasukan sedikit demi sedikit dampak jika sering ke kafe. Saya pun memberitahu, jika polisi gencar razia pelajar yang masih berkeliaran di jam malam. Kebetulan saya masuk ke grup jurnalis Polres Kota, jadi sedikit tahu bagaimana kegiatan Polres.
- Memberi batas kunjungan ke kafe
Tidak setuju anak remaja ke kafe, bukan berarti dia tidak boleh sama sekali ngopi dan berkumpul dengan temannya. Jika saya langsung menekan "Tidak boleh", khawatir anak membangkang dan jauh dari keluarga.
Saya mengizinkan anak ngopi di kafe dengan membatasi frekuensi kunjungan. Batasan itu seperti, yang tadinya setiap malam menjadi dua kali dalam seminggu, yakni malam Sabtu dan Minggu dengan batas waktu hingga pukul 22.00 WIB.
- Libatkan anak untuk berbagi
Keluhan kedua dari kerabat saya adalah anak sering ke kafe menjadi pelit. Ya benar, karena dia membutuhkan dana untuk jajan dan itu tidak sedikit seperti jajan di kantin sekolah.
Ketika anak diberi uang saku Rp400 ribu, yang tadinya cukup untuk bekal sekolah selama sebulan, setelah sering ke kafe itu akan habis dalam dua pekan.
Hal demikian menyebabkan anak menjadi pelit kepada adiknya atau temannya. Anak berpikir, uang saku saja kurang, bagaimana mau memberi. Ini konsep yang salah dan harus diluruskan pada anak. Berbagi tidak menunggu cukup untuk diri sendiri.
Hal sederhana yang saya lakukan adalah dengan melibatkan mereka dalam berbagi. Misalnya, beri dia uang khusus untuk diberikan pada fakir miskin, entah itu peminta-minta atau tukang becak.
"Nak, Mamah titip uang Rp20 ribu dan berikan pada peminta-minta yang kamu temui sepanjang perjalanan ke sekolah."
Itu kalimat yang sering saya sampaikan pada anak agar dia tahu arti berbagi. Sebelumnya kita harus sudah menanamkan sifat jujur pada anak agar tidak ada dusta di antara kita.Â
Dengan anak melihat langsung kondisi fakir miskin, akan muncul sifat welas asih kepada sesama.
- Ajarkan pentingnya mengelola keuangan