Sudah menjadi menjadi rahasia umum jika tinggal di desa sangat kental akan kebersamaan, kepedulian, gotong royong juga tolong menolong.
Di balik itu semua sebenarnya banyak warna, semakin kita bersosial akan semakin memicu konflik.Â
Contohnya, warga desa pada umunya memelihara, ayam, kambing, kucing. Rumah antar tetangga biasanya tidak berpagar, oleh sebab itu sangat mudah hewan peliharaan masuk rumah tanpa diundang dan meninggalkan jejak.
Belum lagi masalah ranting pohon yang kena genting tetangga. Hal kecil sering memicu pertengkaran. Namun, konflik juga tergantung bagaimana kita menyikapinya.Â
Saya tinggal di desa sudah 20 tahun, sebelum nikah, tinggal di perumahan Jawa Barat. Tentu banyak hal baru ketika memulai hidup di desa tempat tinggal suami.
Dengan berbagai dinamika, hidup di desa, bagi sebagian orang akan tidak kerasan. Apalagi jika terbiasa hidup di perumahan atau di kota yang cuek.
Hidup di desa tidak bisa cuek, kita harus saling memperhatikan, dalam arti tetap ada batas. Tidak boleh ikut campur ke dalam urusan keluarga orang lain.
Seperti yang pernah diceritakan teman saya yang biasa tinggal di perumahan. Ketika pensiun, teman saya pindah ke kampung.Â
Dia bilang, "Saya kira di kampung bisa hidup adem tentram , ternyata banyak ini itu, tidak datang arisan disindir, suami saya tidak kerja bakti diomong. Harusnya maklum saja, suami sudah tua, saya ya tetap bayar iuran RT. nyumbang aspal dan lain sebagainya."
Ketika saya pindah ke Madiun dan tinggal di desa, untuk kebersamaannya, gotong royong tidak terlalu kaget. Di perumahan tempat orang tua saya pun masih mementingkan hal itu, Hanya ada beberapa tradisi yang belum saya pahami terutama bahasa daerah Jawa halus.Â
Tradisi lain yang belum bisa saya ikuti yaitu rewang. Di mana warga membantu tetangga yang hajatan selama beberapa hari. Bagi saya itu sangat berat.
Pernah ibu mertua saya bilang, jika tidak rewang, kalau kita punya hajat nikahan atau khitanan tidak ada yang bantu masak.Â