Memiliki anak remaja memang ngeri-ngeri sedap, karena masa remaja itu menyenangkan. Akan tetapi banyak tantangan  yang dihadapi anak dan orang tua.
Seperti yang diceritakan anak remaja saya ketika pulang sekolah.
"Kakak kelas berantem dengan temannya, suaranya sampai terdengar ke kelasku."
"Orang berkelahi kok ditonton, bukannya dipisah," ujar saya saat itu.
"Sudah, Mah, aku panggil guru BP, mereka dibawa ke ruang BP."
Menurut keterangan anak saya, kakak kelasnya, panggil saja Akbar, marah karena dibully oleh salah satu temannya. Akbar tidak terima, akhirnya terjadilah perkelahian.
Menurut kabar angin yang didengar anak saya, Akbar memang sudah emosi sejak dia datang ke kelas. Jadi dia sudah dalam keadaan marah dari rumah.Â
Bibit-bibit kemarahan pada Akbar sudah tumbuh. Ketika ada yang menggertak, seolah-olah ada jalan untuk melampiaskan kemarahannya.
Masa Storm dan Stres pada Remaja
Kondisi Akbar mungkin juga pernah dialami anak remaja kita. Di mana mereka mengalami ketegangan emosi.Â
Walaupun tidak semua remaja mengalami badai dan tekanan, tetapi pada umumnya mereka mengalami ketidakstabilan.
Pikunas (1976) menyatakan bahwa periode remaja ini dipandang sebagai masa storm and stress. Masa itu sebagian remaja mengalami frustasi dan penderitaan, konflik dan krisis penyesuaian, mimpi dan melamun tentang cinta.Â
Mereka juga mulai muncul perasaan tersisihkan dari kehidupan sosial budaya. Terutama ketika di sekolah.
Masalahnya emosi marah yang berlebihan tersebut berlanjut atau tidak hingga akhir remaja? Akhir remaja diketahui usia 18-21 tahun.
Emosi yang menggebu-gebu seperti Akbar akan menyulitkan dirinya, orang tuanya, juga temannya. Namun, emosi yang menggebu-gebu juga bermanfaat, yakni lingkungan sekitar mengetahui karakter seseorang. Pun bagi Akbar, dia akan mengambil pelajaran dari reaksi teman-temannya dan guru.
Jika mereka berhasil mengolah emosi marah yang menggebu pada masa remaja, ke depannya akan memiliki kematangan emosi. Mereka akan berpikir logis sebelum bertindak.
Kematangan Emosi
Sebagian besar, baik orang dewasa, remaja, anak seringkali mengedepankan emosi marah jika menghadapi masalah. Namun, ada pula orang yang berpikir terlebih dahulu sebelum meluapkan emosinya.
Menurut Hurlock, 1980, kematangan emosi pada remaja ditandai dengan :
1. Kontrol diri
Seseorang baik remaja atau orang dewasa memiliki kematangan emosi ketika dia mampu menunggu saat dan tempat yang tepat untuk mengungkapkan emosinya. Caranya pun tidak dengan marah, tetapi berbicara baik-baik.
Misalnya, Akbar yang dihina oleh temannya. Semua orang tidak senang dihina, direndahkan di depan umum, ketika mendapat perlakukan tidak baik, secara otomatis akan marah untuk membela diri atau balas.
Jika Akbar atau individu lain memiliki kematangan emosi, dia akan menunggu untuk berbicara baik-baik pada si pembully.
2. Pemahaman diri sendiri
Saya sering mendengar petuah dari orang tua, walaupun keadaan rumah tangga menyedihkan, jangan tunjukkan di depan umum. Walaupun sedang sedih, ketika ada tamu, tunjukkan rasa bahagia.
Ketika kita mampu mengubah emosi ke emosi lain, itu artinya memiliki reaksi emosional yang stabil. Di mana kita memahami hal yang dirasakan saat itu dan mengetahui penyebab dari emosi yang dihadapi, juga tahu bagaimana cara mengatasinya.
Untuk mencapai kematangan emosi, tidak mudah, apalagi bagi remaja yang sedang mencari jati diri. Hal ini perlu adanya kerja sama dari orang tua.
Apa yang harus dilakukan orang tua untuk membantu kematangan emosi remaja?
Dari peristiwa Akbar, saya berpikir, Akbar mengalami tekanan dari orang tuanya ketika hendak berangkat sekolah, sehingga membuat dia emosi.
Sejauh yang pernah saya perhatikan anak akan marah ketika dibangunkan, apalagi jika waktu tidur malamnya sedikit.
Ketika anak marah pada waktu pagi, saya berusaha cepat kontrol emosi, jangan ikut marah. Saat anak berangkat tetap kita ingatkan untuk pamit pada orang tua sambil mengucapkan salam.
Saya pernah merasa tidak terkontrol dan ngomel menasehati anak, anak pun diam. Ketika akan berangkat, saya peluk dan minta maaf. Anak pun berganti memeluk dan minta maaf. Dia berangkat sekolah tidak membawa kemarahan.
Saya selalu ingat apa kata Ibu, katanya, "Jangan biarkan anak atau suami, keluar rumah dalam keadaan marah."
Untuk mencapai kematangan emosi pada remaja, orangtua bisa melakukan hal-hal berikut:
1. Bersikap hangat dan terbuka
Sesibuk apapun pekerjaan orang tua, luangkan waktu untuk mendengar keluh kesah anak.Â
Jika anak memiliki karakter  pendiam, kita bisa memulai obrolan. Pancing dia agar bisa menceritakan masalah pribadinya dengan orang lain.Â
Biasanya saya akan mengawali dengan pertanyaan, misalnya, "Di sekolah tadi aman?" atau "Tadi kesulitan gak pelajaran di sekolah?" dan lain sebagainya.
2. Aturan untuk anak
Aturan di dalam rumah usahakan dibuat bersama anak dan dilaksanakan secara konsisten.Â
Jika anak melakukan kebaikan berilah hadiah sewajarnya saja, pun jika melakukan kesalahan, berilah dia hukuman secara rasional.
Selain itu anak pun diberi kebebasan untuk mengemukakan pendapat, perasaan dan keinginannya. Orang tua tetap memberi pertimbangan akan kegiatan dan pendapat anak.
3. Salurkan emosi
Anak remaja ketika emosi akan mencari pelarian untuk menyalurkan emosinya.Â
Kita kudu mengarahkan untuk melakukan kegiatan fisik, seperti olahraga, bekerja, berorganisasi di sekolah.Â
Ajak pula anak untuk bermain bersama, tertawa. Jika dia ingin menangis, biarkan dia menangis agar lega.
4. Tetap doakan
Mendoakan adalah jalan terakhir agar anak matang dan lembut hatinya. Mendokan bukan berarti kepasrahan dan berhenti berusaha mematangkan anak.
Doa adalah kita meminta campur tangan Allah Swt. dalam mengasuh, mendidik anak. Ini karena hanya Allah yang mampu menguatkan karakter anak
Terasa sulit mendampingi anak remaja? benar, saya pun terus berusaha memahami anak remaja saya dengan penuh cinta.
Semoga bermanfaat, terima kasih telah singgah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H