Setiap wilayah memiliki ritual yang berbeda ketika menjelang panen raya. Di Madiun ada tradisi yang namanya 'Methil Mbok Sri'. Namun, ritual tersebut semakin jarang dilakukan oleh petani.Â
Kepunahan tersebut disebabkan generasi muda berpikir logis dan praktis. Petani milenial tidak mau ribet dengan mencari syarat yang menurut mereka merepotkan. Mari kita kenali dulu apa itu ritual methil agar anak-anak kita mengetahuinya.
'Methil Mbok Sri' merupakan tradisi para petani untuk mengungkapkan rasa syukur atas rezekinya berupa hasil panen yang melimpah. Tradisi ini juga bermaksud menjemput dewi padi yang dikenal dengan sebutan Dewi Sri Bagus Sodono sekaligus menandai dimulainya panen padi.
Kata methil sendiri diambil dari kata methili atau memotong, dalam hal ini bertepatan dengan panen padi. Sebelum padi diarit, sesepuh dusun akan memotong satu tangkai padi terlebih dahulu.
Ritual methil yang dilakukan di sawah ini dipimpin oleh sesepuh desa (tokoh setempat) yang dipercaya memiliki kemampuan untuk memimpin upacara adat.Â
Methil dilakukan setelah salat subuh dan dihadiri oleh tetangga pemilik sawah yang sudah ada di area sawah. Tidak semua pemilik sawah melakukan tradisi ini, tergantung kepercayaan.
Makanan dalam Ritual Methil
Ritual methil ini sangat saya tunggu-tunggu karena ada makanan yang enak-enak, hikhik. Makanan itu, misalnya panggang, uraban, botok, pisang. Sebenarnya kita bisa saja beli panggang setiap hari, tetapi akan berbeda rasanya jika lauk itu dimakan pada acara tertentu, padahal cuma secuwil.
Bagaimana tidak secuwil, panggang satu atau dua ekor dibagi-bagi kepada semua yang hadir berdoa. Keberkahan memang lain, sedikit, tetapi nikmat.
Selain ada panggang dan uraban, dalam ritual methil ada juga sayur lodeh kluwih yang dibumbu ketumbar bawang putih dan santan.
Setelah subuh sesepuh dusun akan keliling sawah dan memetik satu tangkai padi yang telah kuning. Setelah agak padang (sekitar pukul 06.00) ipar membawa satu baskom besar nasi, panggang dan lauk lainnya ke sawah.Â
Petani atau buruh tani yang ada disekitar sawah akan berkumpul untuk berdoa. Nasi dan lauk dibagi kepada yang hadir dalam ritual tersebut juga tetangga dengan cara dibungkus daun pisang.
Methil dari Masa ke Masa
Tradisi methil dari masa ke masa mengalami perubahan. Saya hanya menyaksikan dua kali perubahan. Sedangkan suami, dia mengalami semua perubahan ritual tersebut. Dari ceritanya saya bagi menjadi 3 masa.
Methil di era 60-anÂ
Pada tahun 1960-1990, tradisi methil benar-benar masih alami, belum terpengaruh dunia luar. Di mana petani yang memiliki sawah, entah itu luas satu petak, dua petak atau 10 petak, mereka melaksanakan methil..
Misalnya, dalam satu hari ada 10 petani yang melaksanakan methil. Anak-anak atau warga, berpindah-pindah mengikuti ritual dari sawah satu ke sawah lainya.
Tata cara methil pada masa itu
Petani membuat takir kecil dari daun pisang sebanyak 5 buah. Dua takir diisi sayap panggang ayam, bunga setaman, telur ayam. Dua takir lagi diisi dua ceker ayam, bunga setaman, telur. Satu takit diisi kepala ayam panggang, telur dan bunga setaman.
Takir-takir yang telah didoakan sesepuh dusun akan disimpan di sawah, yang berisi kepala ayam disimpan di tengah sawah yang padinya siap dipetik. Empat takir, masing-masing disimpan di setiap pojok sawah.
Takir-takir itu untuk menyambut kedatangan Mbok Sri, tetapi nantinya akan dimakan oleh pemetik padi.
Methil di era 90-anÂ
Pada tahun 1990, tradisi nenek moyang mulai berubah. Pada masa itu pangang ayam tidak disimpan lagi di setiap pojok sawah.
Nasi berikut lauk, seperti ayam panggang, sayur klewih, uraban telur rebus, tahu bumbu kuning disimpan di dalam wadah besar beralas daun pisang. Ritual seperti biasa dipimpin oleh sesepuh desa. Setelah sesepuh desa keliling sawah, dia mengambil satu tangkai padi. Makanan dibagikan memakai daun pisang kepada warga yang hadir.
Pada masa ini, dari tahun ke tahun, warga mulai berkurang melaksanakan methil, terutama pada tahun 2000.
Methil setelah pandemi
Tahun ini sangat berbeda, tidak ada ritual. Menurut saya karena tidak ada sesepuh yang bisa disepuhkan untuk melaksanakan ritual methil. Generasi muda pun semakin praktis dalam berpikir.
Untuk bersyukur tidak harus melaksanakan ritual. Bersyukur bisa dilaksanakan dengan berdoa di rumah, makanan diantar ke kerabat dan tetangga sebagai sodaqoh. Jenis makanan pun tidak wajib pangang dan uraban, sayur lodeh kluwih.
Itulah tradisi methil berubah sesuai zaman dan keadaan. Menurut suami yang asli orang desa sini, setiap periode memang ada perubahan, mulai dia kecil dewasa, bekerja hingga punya sawah sendiri.
Cara Menghitung Hari Baik untuk Melaksanakan Methil
Semua hari baik, tetapi untuk methil ada hari yang dianggap paling baik. Cara menghitungnya berdasarkan ilmu turun temurun dari nenek moyang. Mungkin setiap daerah berbeda cara menghitungnya.Â
Berdasarkan informasi yang saya terima, hari dalam perhitungan sawah ada lima, sri, kiti, royong, rumpas, roboh. Dari lima nama itu yang bagus adalah sri dan kiti. Royong, rumpas, roboh itu situasi yang buruk terhadap tanaman padi.
Untuk mendapatkan sri dan kiti harus ada gabungan hitungan kalender jawa, seperti,  pahing, pon, wage, kliwon, legi. Di sini sesepuh sudah tahu berapa jumlah hari tersebut. Dari jumlah itu harus tepat dengan sri atau kiti.
Intinya cara bersyukur dan bersedekah atas rezeki yang kita dapat, terutama hasil panen, tidak harus dengan ritual, bisa berbagai cara.Â
Methil adalah budaya warisan nenek moyang mengandung 4 unsur nilai, yaitu nilai historis atau sejarah, nilai religi, nilai sosial, dan nilai budaya. Tidak ada salahnya jika kita tetap melestarikannya.
Selamat merayakan panen kesatu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H