Sejak pandemi, masyarakat dilarang mengadakan pesta pernikahan atau khitanan. Secara tidak langsung tradisi gegawan pun tidak ada, karena tradisi ini hanya dilakukan pada saat ada undangan hajatan.
Tradisi gegawan ada di beberapa tempat terutama di Jawa Timur, seperti desa tempat tinggal saya.Â
Jika di tempat saya berasal yaitu Jawa Barat, namanya kado, namun hanya khusus untuk pengantin dan amplop isi uang untuk pengundang.
Apa itu gegawan?
Mengutip dari metasatu.com, kata gegawan sering disingkat menjadi gawan. Dalam bahasa Jawa gegawan mempunyai arti barang bawaan.Â
Tamu undangan khususnya, kaum perempuan akan membawa gegawan berupa sembako. Tidak ada tekanan harus membawa barang apa.
Namanya juga nyumbang, berarti menyumbang untuk meringankan pengundang. Barang yang disumbangkan yang bisa dimasak saat hajatan, pada umumnya beras, mie dan gula. Ada juga yang nyumbang dengan barang lain, seperti, minyak goreng atau hasil kebun, pisang, kelapa.
Untuk jumlahnya tidak ada batasan, hanya kesadaran masing-masing tamu undangan. Yang sudah biasa adalah beras minimal dua kilogram, mie telor ukuran kecil, gula satu kilogram. Jika gawan kepada kerabat, tentu jumlahnya akan lebih banyak.
Gawan, biasanya dibawa dengan menggunakan tas anyaman dari bahan plastik. Tas anyaman ini banyak dijual di berbagai toko gerabah mulai dari toko kecil hingga di pasar tradisional.
Isi gawan akan diterima dan ditulis oleh penunggu sanggan, yakni warga setempat yang ditugaskan, khususnya kaum perempuan.Â
Tas kosong akan diisi dengan satu bungkus nasi, mie goreng, dan sayur tempe yang telah diwadahi plastik. Namanya balen, artinya mengembalikan.
Selain gegawan, tamu undangan pun masukkan amplop ke dalam kotak yang telah disediakan panitia. Satu keluarga, istri dan suami, biasanya terpisah.Â
Ibu-ibu biasanya ngamplop antara 10 ribu hingga 25 ribu rupiah, sedangkan bapak-bapak ngamplop anara 25 ribu hingga 50 ribu rupiah.
Nominal akan berbeda jika pengundang adalah kerabat, teman dekat, tentunya akan lebih besar. Intinya tergantung dari kemampuan, keikhlasan tamu undangan.
Hasil gegawan disalurkan ke mana?
Kita bisa bayangkan, jika penduduk desa sekitar 500 orang dan membawa gawan beras dua kilogram.Â
Jumlah beras yang didapat pengundang sekitar 1000 kilogram atau satu ton. Belum barang lainnya, seperti mie, gula pasir, minyak goreng.
Tak perlu khawatir, barang hasil gawan ada yang tampung oleh toko di mana kita belanja kebutuhan hajatan.Â
Tidak semua toko bisa memenuhi kebutuhan hajatan, biasanya tiap desa ada toko yang memberi modal hajatan terlebih dahulu.
Contohnya saya akan hajatan. Semua kebutuhan untuk masak dicukupi toko si Fulan dengan total belanja 20 juta rupiah.Â
Hasil gawan dijual semua ke toko si Fulan dengan harga di bawah pasar, misalnya hasil gawan ada sekitar 15 juta rupiah. Nah, saya harus bayar ke toko si Fulan sebesar 5 juta rupiah.
Catatan yang perlu kita ingat, hajatan itu tidak ada yang untung. Untungnya kita dapat menantu atau anak telah dikhitan. Jadi jangan berharap keuntungan jika selesai hajatan.
Gawan jangan lupa dicatat, karena ketika tamu undangan itu punya hajat, kita harus mengembalikan barang gawan tersebut dengan jumlah yang sama. Jangan main ghosting ya, kalau tidak mau jadi trending topic di desa.Â
Mari kita lestarikan tradisi yang sudah ada sejak zaman dahulu, tujuannya untuk saling membantu dan meningkatkan kekeluargaan.
Terima kasih telah membaca...
Salam,Â
Sri Rohmatiah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H