Saya mengenal istilah Voluntary Counselling and Testing (VCT) pada saat mengantar adik ipar berobat ke rumah sakit. Klinik dalam tempat adik berobat bersebelahan dengan klinik VCT.Â
Ruang klinik VCT, pintunya tertutup terus, sepertinya tidak ada pasien yang masuk. Hal itu pula yang mendorong saya mencari tahu tentang klinik satu ini. Sembari menunggu adik selesai berobat, saya berusaha mencari tahu lewat mesin pencarian google.
Belum juga selesai tanya mbah Gugel tentang VCT, tiba-tiba dua orang keluar dari ruangan itu diikuti seorang perawat. Berarti ada pasien yang berobat, hanya mungkin penyakit yang jarang diderita orang, jadilah sepi pengunjung.
Lagi-lagi usaha saya mencari tahu klinik itu terganggu, karena adik ipar keluar dari ruang klinik dalam. Kami pun pulang setelah mengambil obat di apotik. Namun, pencarian tetap saya lakukan setibanya di rumah.
Apa itu Voluntary Counselling and Testing?Â
VCT atau voluntary counselling and testing  jika dalam bahasa Indonesia adalah konseling dan tes sukarela bagi penderita HIV/AIDS. Layanan konseling ini tujuannya untuk membantu pencegahan, perawatan, dan pengobatan bagi penderita HIV/AIDS.Â
Seperti kita ketahui HIV/AIDS menjadi salah satu penyakit yang sangat  mematikan. Sebelum pandemi penyakit satu ini ramai dibicarakan. Sekarang seolah-olah sudah lenyap, padahal menurut data WHO ada sekitar 35 juta orang di seluruh dunia yang menderita HIV.Â
Sementara di Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan sedikitnya 46 ribu kasus baru HIV di Indonesia. Madiun sendiri, menurut data dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Daerah Kabupaten Madiun, menemukan 64 kasus bari penderita HIV/AIDS selama Januari hingga November 2021. (Antara, 4/12/2021)
Sejak 2002 hingga November disebutkan juga tercatat sebanyak 957 kasus HIV/AIDS di Kabupaten Madiun. Dalam kurun 20 tahun itu, 321 ODHA meninggal dunia, yang mayoritas penderita adalah pekerja swasta.
Dari melonjaknya kasus penderita HIV/AIDS, yang perlu dipertanyakan, kenapa keberadaan VCT sepi pengunjung. Seharusnya dengan jumlah yang semakin meningkat klinik VCT ada pengunjung. Ada tiga kemungkinan klinik VCT sepi, yang pertama mungkin orang malu untuk konsultasi, kedua tidak tahu keberadaan klinik ini, Â tiga, saya tidak tahu jadwal kedatangan pasien yang datang ke klinik ini.
Jika malu atau tidak tahu keberadaan dan fungsi dari klinik VCT, seharusnya ada edukasi kepada masyarakat. VCT diperuntukkan bukan saja untuk penderita, tetapi bagi yang merasa rawan risiko, seperti pekerja sek, sering berganti pasangan, mengalami gejala-gejala yang mencurigakan, pengguna jarum suntik bergantian. Malah menurut Pusat Pengendalian  dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat, setiap orang yang berusia 13-64 tahun harus tes HIV sebagai cek kesehatan rutin.
Sebenarnya tidak perlu malu datang ke VCT karena sifatnya rahasia dan dilakukan secara sukarela. Artinya, hanya dilakukan atas inisiatif dan persetujuan pihak yang datang ke penyedia layanan VCT untuk diperiksa. Hasil pemeriksaan yang dilakukan selama VCT pun terjaga kerahasiaannya.
Supaya tidak malu, kenali dulu kerja VCT itu seperti apa. Berikut tahapannya :
Pertama, klien akan diminta bercerita tentang kebiasaan atau aktivitas sebelumnya yang dicurigai berisiko terpapar virus HIV. Biasanya seputar bekerja di mana, kegiatan sehari-hari, cara berhubungan sek, penggunaan alat suntik, narkoba, riwayat penyakit. Dalam tahap ini, pasien harus jujur untuk memudahkan konseling dan pengobatan.
Kedua, lakukan tes HIV. Setelah konselor memberi penjelasan seputar HIV dan tentang pemeriksaan yang bisa dilakukan. Konselor akan meminta persetujuan tertulis kepada klien untuk melakukan tes HIV. Setelah ada persetujuan, tes bisa dilakukan.
Ketiga, konseling setelah tes
Hasil tes tidak setiap klien positif, ada juga yang negatif. Namun, apapun hasilnya, klien harus tetap menjalani tahapan pasca konseling.Â
Bagi klien yang hasil tesnya negatif, konselor tetap akan memberi pemahaman mengenai pentingnya menekan risiko HIV/AIDS. Misalnya, mengedukasi klien untuk melakukan hubungan seksual dengan lebih aman dan menggunakan kondom.
Bila hasil tes positif, konselor akan memberikan dukungan emosional agar penderita tidak patah semangat.
Berikut peran konselor bagi klien yang hasilnya positif HIV/AIDS
1. Memberi informasi tentang langkah berikutnya yang dapat diambil, seperti penanganan dan pengobatan yang perlu dijalani. Memang sih belum ada pengobatan yang dapat menyembuhkan penyakit HIV/AIDS secara tuntas. Namun, pengobatan antiretroviral (ARV) yang digunakan untuk mengobati HIV, dapat menekan perkembangan virus HIV dalam tubuh penderita.
2. Memberi petunjuk agar klien menjalani pola hidup sehat.
Pola hidup sehat semua orang memahaminya, tetapi, bagi pasien HIV, perlu dukungan, karena dalam keadaan tertekan bisa saja pola hidup semakin amburadul.Â
3. Memberi saran langkah-langkah pencegahan agar tidak menularkan kepada orang lain.
Bertambahnya pasien HIV/AIDS karena tertular. Â Penularan bukan melalui sentuhan biasa, tetapi dari hubungan sek, alat transfusi. Jika memiliki pengetahuan, penderita akan berusaha supaya tidak menularkannya kepada orang sekitar.
4. Memberi dukungan agar penderita semangat dalam menjalani aktivitas sehari-hari dan memperkuat kesehatan mental.
Seperti kita ketahui, penderita HIV/AIDS sering mendapat perundungan dari orang sekitar. Warga atau orang terdekat mengucilkannya, hal tersebut dapat merusak kesehatan mentalnya.
Ketika orang telah divonis mengidap virus ini, dia akan merasa tertekan, stress, stigma sosial, diskriminasi, nyeri fisik. Dengan dukungan dan perawatan yang tepat, penderita akan menjalani hidup lebih mudah. Jadi keberadaan VCT sangat membantu menekan penyebaran virus HIV/AIDS dan memperbaiki hidup penderitanya.
Mari kenalkan klinik VCT kepada orang-orang terdekat kita yang rawan akan risiko HIV/AIDS.
Bahan bacaan : 1
#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H