"Aa ... speaker simpan di telinga si Ibu, ini anaknya mau ngomong."
Mataku masih menatap Mimi dari balik kaca putih dan tebal. Speaker kecil didekatkan perawat ke mulutku, "Silakan bicara Teh! aku pegang teleponnya."
"Mi, semangat ya, besok kita pulang, maafin Teteh dan adik-adik ya, gak bisa, merawat Mimi."
"Teteh, bacakan tahlil ya, napas Ibu sudah berat, tuntun Ibu, pegang ini teleponnya!"
Tiba-tiba, perawat yang ada di samping memberi perintah yang sangat mengagetkan. Air mataku membanjiri seluruh permukaan wajah, tetapi suaraku masih keluar keras. Sementara adik laki-laki yang satu sudah lemas tanpa suara di dekat kakiku.
Aku dan adik bungsu membacakan tahlil dengan air mata, La Illaha Illallah, La Illaha Illallah, La Illaha Illallah
Beberapa menit kemudian, "Sudah, Teh, pinjem teleponnya. Ibu telah meninggal!" telepon itu diminta perawat kembali. Setelah beberapa detik, selang infus dan oksigen mulai dilepas dari hidung Mimi.
Aku berlari ke luar ruangan ICU. Menangis sekuat-kuatnya.Â
Adik-adikku memeluk erat. Apa yang bisa kami lakukan saat itu selain menangis. Ketika sudah mulai tenang. Pak Satpam dan suster berdiri di hadapan kami.
"Kalian bisa menyaksikan pemulasaraan jenazah Ibu dari balik kaca. Setelah itu silakan disalatkan, Kita tunggu Pak Modin rumah sakit dulu ya."
Kami mengangguk seraya mengambil air wudu yang ada di ruang perawat. Sembari menunggu Pak Modin, kami membaca Al-Qur'an dan tahlil di depan ruang ICU.