Pagi itu drama kolosal terjadi di dapur, anak-anak mengambil minumannya. Si bungsu ambil teh panas, roti bakar. Kakaknya membuat cokelat panas Temanggung.
Apa yang terjadi?
Pyaaar ... Gelas teh di tangan si bungsu pecah. Dia menjerit melebihi suara klakson ketika kemacetan terjadi di jalan raya.
"Auuuwww ...!"
Adik berdiri di depan serpihan kaca sambil, mulutnya menganga, ada sedikit tawa, tetapi, tampak kaget.
Orang tua mana yang tidak terkejut mendengar teriakan.
"Eeh walah sudah jelas gelas ada di meja makan, ko dibawa jalan, duduk di situ!"
Bunda, tidak cukup deh kalau ngomongnya satu kalimat, mesti beranak pinak, semua diucapkan, mulai menasehati, mengomel. Ups, adik yang tadinya tertawa, tiba-tiba berlari ke kamarnya dengan cemberut. Roti bakar ditinggalkannya dalam keadaan sedih "tidak jadi dimakan".
Bunda, pasti pernah mengalami kejadian seperti yang saya alami. Anak akan tertawa, melarikan diri,menutup telinganya, marah, atau mengelak jika mendapat omelan.
Orang dewasa menganggap tertawanya anak sebagai bentuk ledekan, marah sebagai bentuk perlawanan, tidak sopan. Jika kecerobohan terjadi di depan umum atau kerabat, kita juga mungkin akan malu. Inilah tantangan orang tua dalam pengasuhan anak.
Mengapa anak tertawa saat dikritik?
Seorang anak tertawa atau bertindak mengelak saat dikritik, bukan berarti dia tidak peduli. Jika orang tua melihat tingkah anak dari sudut pandang anak, perilaku mereka masuk akal.