Aku menangis semakin menjadi, tetapi, tak ada yang mendekat termasuk adikku yang tadi menggandeng tanganku.
Kaki kejang, tak ada yang menolong, hingga jeritan terakhir, "Mimii ...."
Mataku terbuka. Aku berada di kamar tamu sendirian. Badanku terasa kaku, mataku basah, hidungku mampet.
Mimi sudah dipanggil Allah pada saat Ramadan. Rumah sakit yang ada dalam mimpi itu tempat Mimi menghembuskan napas terakhir.
Aku masih ingat dan tak akan pernah lupa ketika plasma kedua akan dimasukkan, Mimi drop.
"Teteh, Miminya drop, kami lagi usahakan sebelum pukul 8 malam, keadaan Mimi tambah baik," ujar perawat.
"Tadi pagi katanya baik-baik saja, sudah naik di angka 97."
"Iya Teh, bahkan Mimi bilang ingin pulang saja. Sore tadi turun di angka 65."
Ruang dokter di ICU kembali hening. Aku masih melihat Mimi dari monitor sesekali masuk ke ruangan kosong sebelah Mimi dirawat.
Tidak bisa mengelus, tetapi, mataku tertuju tajam ke arah mata Mimi yang berkedip-kedip.
"Ada perawat di dalam ruang, bisa bicara sama Mimi pakai speker, Aa!" pintaku kepada perawat laki-laki.