Lebaran telah lewat beberapa hari yang lalu. Namun, yang datang ke rumah masih silih berganti. Ketika buka pintu, dia hanya menyodorkan sebuah surat undangan. Tak ada ucapan selamat Idul Fitri atau maaf lahir batin.Â
Untuk satu dusun, undangan pernikahan dilakukan dengan lisan, istilahnya hatur-hatur. Pembawa hatur-hatur akan duduk dan diawali dengan ucapan selamat Idul Fitri, lalu memberi tahu siapa pemangku hajat dan kapan pernikahan dilangsungkan.
Ada satu calon mempelai laki-laki, panggilannya si Budi. "Ndak apa-apa muda, kan sudah kerja."
"Itu Bude, lagi nganggur, kena PHK, tapi anak perempuannya sudah nentukan tanggal, karepe anak lanang besok nek wes 24 utowo 25 tahun angge nikah, biar bisa nabung dulu," ujar Ibunya.
Satu lagi yang menarik dari foto prewed salah satu undangan. Saya sebut namanya si Fulan dan di Eni. Si Fulan tampak masih muda sementara calon perempuan terlihat keibuan.
Setelah ngobrol ringan dengan Suami, ternyata calon mempelai enam tahun lalu baru dikhitan. Itu artinya dia baru lulus SMK satu tahun.
Tradisi di desa tempat tinggal saya, anak laki-laki dikhitan ketika menginjak kelas 7 SMP. Minimal kelas 5 SD. Bahkan ada yang khitan kelas 9 atau kelas 10. Tergantung keberanian si anak. Sekarang tradisi tersebut mulai berubah. Telah banyak anak usia 7-8 tahun yang sudah khitan.
Untuk seorang perempuan menikah usia 19 tahun, sudah wajar karena mereka akan dibawa suaminya. Tidak bekerja juga tidak masalah sepanjang suami bisa memenuhi kebutuhannya. Istri pun ridho di rumah saja.
Namun, jika usia laki-laki baru menginjak 20 tahun. Ada pertanyaan siapkah secara lahir? Ini yang sering diabaikan remaja laki-laki. Ketika mengabaikan, orang tua dari kedua belah pihak ikut serta bertanggung jawab atas kehidupan keduanya.
Apakah remaja di desa mengalami yang namanya Quarter life Crisis, krisis seperempat kehidupan, sehingga memutuskan menikah di bawah usia 25 tahun?
Seorang penulis JR Thorpe dalam artikelnya di Bustle, menurut penelitian yang dikumpulkan oleh life coach Alice Stapleton, krisis seperempat kehidupan mencakup, "Ketidakstabilan yang luar biasa, perubahan yang terus menerus, terlalu banyak pilihan dan rasa panik tidak berdaya" dan rasa kesepian, isolasi, ketidakmampuan, dan keraguan diri, ditambah ketakutan akan gagal."
Dari definisi tersebut Si Budi dan Si Fulan yang hendak menikah bisa melewati yang namanya krisis pada usia 20-an.Â
Mereka berani memutuskan menikah tentu dengan persiapan yang matang. Mereka dewasa karena keadaan orang tua dan lingkungan. Namun, ada juga yang tidak bisa menghadapi krisis pada usia mudanya.Â
Kita juga ingat janji Allah Swt dalam QS. An-Nuur: 32, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahaya yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui)."
Saya perhatikan ada tiga alasan mengapa remaja di desa berani mengambil keputusan menikah muda;
1. Â Lapangan pekerjaan sudah tersedia
Setelah lulus SMK atau SMA, remaja desa akan pergi ke Jakarta atau kota besar lainnya untuk bekerja. Namun, tak jarang mereka kembali ke desa dalam waktu dekat dan langsung menikah.
Dalam waktu pendek untuk dikatakan mapan rasanya tidak mungkin. Untuk melewati krisis keuangan masa remaja butuh waktu lama. Kecuali dapat warisan tujuh turunan.
Lapangan pekerjaan di kampung sebetulnya banyak yang penting anaknya mau dan rajin. Contohnya di sawah. Sawah setiap tiga bulan sekali akan ramai dan membutuhkan tenaga anak muda.Â
Jika selesai pekerjaan di sawah mereka akan lari ke sungai untuk ngeduk pasir secara manual. Jika tidak sanggup untuk lelep ke dasar sungai, menjadi buruh bangunan juga bisa mendatangkan rupiah.
Bagi mereka yang memiliki ijazah STM, bisa juga bekerja di pabrik gula atau pabrik kereta, tetapi tentu berlaku syarat dan ketentuan. Sebenarnya bukan jenis pekerjaannya, akan tetapi hasil dan keberkahan dari pekerjaan tersebut.
Untuk anak desa yang sekolah tinggi dan mendapat pekerjaan bagus, sudah tidak ada halangan lagi untuk menikah muda. Hanya kekuatan mental saja yang perlu dipersiapkan.
2. Rumah sudah tersedia
Rumah di kampung biasanya kecil, tetapi tanahnya luas. Orang tua zaman dulu sudah mempersiapkan lahan untuk anak cucunya. Ketika mereka menikah tinggal mencari bahan bangunan. Tidak perlu membayar tukang bangunan, karena mereka akan bergotong royong hingga rumah itu layak pakai.
Cara mereka mendapatkan bahan bangunan adalah dengan titip bahan di toko bangunan. Misalnya memiliki uang Rp.500.000, bisa dibelikan semen 8 sak, tetapi semen dikirim ketika akan mulai pembangunan rumah. Bisa 1,2,3 tahun atau lebih. Harga semen pun tidak ikut naik.Â
3. Berpikir sederhana
Mengapa kita mengalami krisis seperempat kehidupan? JR Thorpe menjawab karena ada tekanan. Di desa orang hidup dengan sederhana, apa adanya.Â
Tekanan hidup hanya seputar kebutuhan sehari-hari dan itu bisa diselesaikan dengan bekerja. Lapangan pekerjaan sudah tersedia, tinggal melangkah untuk bekerja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Namun, tidak menutup kemungkinan remaja desa pun mengalami masa krisis seperempat kehidupannya. Itu hal yang wajar karena semua orang mengalami masa peralihan dari remaja menuju dewasa. Untuk mengatasinya, sebagai orang tua, kita mempersiapkan pengetahuan untuk anak-anak, supaya kelak mereka bisa melewati Quarter life Crisis.
Charlotte mengatakan, "Di antara tiga jenis pengetahuan yang layak dimiliki anak; pengetahuan tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang alam semesta. Pengetahuan tentang Tuhan ada diperingkat pertama."Â (Ellen Kristi, hal 107)
Salam hangat, semoga bermanfaat
karepe = maunya
anak lanang = anak laki-laki
Bahan bacaan
Bustle.com
tafsirq.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI