"Nanti lebaran ke sini lagi, Mi ... Mimi sehat ya, jangan banyak pikiran!" aku menciuminya, rasanya ada beban berat hendak meninggalkan Mimi.
"Sini ... aku pijeti dulu kakinya, biar malam bisa tidur nyenyak!" kataku lagi sambil menggandeng Mimi ke kamar. Mimi menolak karena di luar Suami dan anak-anak sudah menunggu, tetapi aku paksa, dengan alasan, "Biarkan saja mereka menunggu, biar agak malaman pulangnya, jadi gak berhenti di rest area."
Perjalanan lima jam bagi Pak Edi yang membawa kendaraan pribadi adalah kecil, dia hanya membutuhkan waktu istirahat satu kali untuk minum kopi dan merokok di rest area. Sedangkan anak-anak akan tidur lelap hingga sampai rumah. Aku dan suami sesekali mengajak ngobrol, setelahnya akan tidur lagi.
Adikku, takdir tidak dapat ditolak, awal puasa, aku mendapat kabar Mimi sakit parah. Akhirnya aku kembali berdua dengan Suami. Setelah diskusi dengan dokter, adik-adik dan sudah ngobrol sebentar dengan Mimi, aku kembali ke rumah. Pekan depan akan datang lagi. Lagi-lagi rencanaku meleset, dua hari kemudian aku balik lagi ke rumah sakit setelah mendengar Mimi kritis.
Dua pekan aku meninggalkan Suami dan anak-anak. Mereka menjalani bulan Ramadan tanpa ibunya. Aku pun menjalankan puasa di rumah sakit, berat? Tidak jika dibandingkan penderitaan Mimi yang sakit secara tiba-tiba.
Selama aku dibesarkan hingga memiliki dua anak. Mimi tidak penah sakit parah hingga dirawat di rumah sakit apalagi masuk ICU. Ini tamparan keras bagiku, apa selama ini tidak pernah memperhatikan kesehatannya? Yang  dilihat hanya senyumnya, gerakannya yang lincah, makanannya yang sehat.
Kebersamaan awal April adalah kebersamaan terakhir, karena akhir April Mimi dipanggil Allah Swt. Rumah kenangan itu. Akan menyimpan semua peristiwa yang lalu.
Setelah Mimi tiada, adakah yang rindu, masihkah ada yang menunggu?
Jika aku pulang nanti, akankah ada yang menyambut di pintu?
Lebaran ini aku tidak pulang dulu.
Salam sayang untuk keluargaku di rumah kenangan.