Kasus Ibu dan Pak Roni cepat menyebar dari mulut ke mulut. Biasanya ketika bertemu dengan salah satu tetangga, orang akan berbicara, "Tahu tidak pekan kemarin si Fulan meninggal karena Covid?"Â Atau bisa juga, "Tahu tidak apa yang terjadi pada si Fulan kemarin?"
Dari informasi seperti itu biasanya melebar membicarakan hal-hal lain, hingga memicu sakit hati seperti Pak Roni. Jika berkelanjutan bisa jadi terjadi pertengkaran bahkan perang fisik.
Bagi orang seperti  Pak Roni, omongan tetangga merugikan baginya. Namun, Bagi orang lain menguntungkan karena dari gosip banyak sekali yang bisa dipelajari.
Gosip akan mengajari kita tentang orang yang pembawa berita dan subjek percakapan. Kata Leary, "Saya dapat mempelajari hal-hal tentang sikap, keyakinan, dan cara Anda menghadapi orang dengan melihat siapa dan apa yang Anda gosipkan. Bahkan jika saya tidak bergabung, hanya mendengar gosip orang memberi tahu saya hal-hal tentang apa yang mereka anggap penting, apakah mereka dapat dipercaya untuk menjaga rahasia, dan sebagainya."
Baik, kasus yang saya contohkan memang tidak untuk dirahasiakan. Akan tetapi, dari kasus itu kita bisa belajar karakter masing-masing tetangga.
Selain itu, melalui omongan tetangga kita juga bisa introspeksi diri. Memperbaiki kekurangan supaya lebih baik dan bijaksana.
Jadi intinya omongan tetangga tidak selamanya baik juga tidak selalu buruk. Hadapi omongan tetangga dengan bijak. Apalagi sekarang bulan Ramadan. Kita harus lebih sabar, jangan emosional.
Kata Ibu saya, "Selama omongan tetangga tidak melukai anggota tubuh, abaikan saja, sekalipun omongan itu menyakitkan di hati."
Salam hangat,
Sri Rohmatiah
Bahan bacaan: health.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H