Ramadan tiba, Ramadan tiba
Marhaban ya Ramadan, Marhaban ya Ramadan.
Menjelang bulan Ramadan lagu itu dinyanyikan oleh hampir seluruh umat Muslim.
Opik, penyanyi religi, menyanyikan dengan penuh hayat. Berharap kita bertemu kembali dengan Ramadan.
Aku memanggilnya Mimi. Dia mungkin tidak sehebat, sepintar, sekuat Kartini. Namun, Mimi bagiku wanita super hebat. Â Walaupun usia sudah tidak muda lagi tentu keimanannya mendorong kuat untuk menjalankan puasa.
Namun sayang, sekuat apapun keinginannya virus itu lebih perkasa. Sambutan hanya lewat hati karena nafas begitu berat. Â
Tujuh hari sudah, Mimi bertarung dengan namanya Covid-19. Hari Kartini, aku menaruh harapan besar untuk hasil ikhtiar.
"Ibu, hasil laboratoriumnya sudah keluar, tapi punten tidak bisa dilanjutkan ke pengambilan plasma karena titer antibodi pendonor sudah nonreaktif."
Mataku memandang Mimi yang terbaring lemas di kamar ICU isolasi. Ruang yang selama hidup sangat ditakutkan.
"Teh, kata ibu-ibu di warung ada orang meninggal dari ICU, infusnya tidak dilepas, Mimi takut!" cerita Mimi dua pekan yang lalu.
"Hoak, Mi, jangan percaya, Mimi jangan banyak berpikir!" jawab adik Lanang.
Aku terus memijat kakinya yang tidak setangguh dulu. Badannya tampak mulai rapuh.
"Bu, Bu!" Petugas PMI menyadarkan lamunanku.
"Iya, Pak, aku harus mencari pendonor plasma seperti apa. Pendonor seperti yang aku bawa, dari jenis darah, Rhesus, dan syarat lain sudah terpenuhi."
"Minimal 14 hari setelah dinyatakan negatif. Sebetulnya titer antibodi itu yang memengaruhi gejala penyintas covid sewaktu dulu positif berat atau ringan. Semakin berat maka titer antibodi juga biasanya semakin tinggi."
"Kalau hanya OTG dan isoman itu biasanya titernya cepat untuk non reaktifnya. Kalau ringan kebanyakan cepat turun titernya." ujarnya lagi.
"Dan satu lagi, Bu, kalau calon pendonor dulunya gejalanya berat itu biasanya titer antibodinya tinggi, bahkan bisa didonorkan berulang kali."
Diam, tidak tahu lagi harus berkata apa.
"Teteh, ada teman ini, tapi perempuan!" Tiba-tiba adikku membuka suaranya.
"Tidak bisa, harus perawan, maaf maksudnya jangan yang pernah melahirkan." jelas petugas.
Aahh hari Ibu Kartini telah lewat, Ibu tangguh masih rapuh. Aku masih kukuh mencari plasma konvalesen.
Banyak yang aku pinta. Sekali pun Tuhan tak pernah alpa mengabulkan permintaan beta. Ramadan kali ini, ujian berat bagi ibunda. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Karena keyakinanku Allah tak kan meninggalkan kita.
Salam sayang ibu tangguh. Mimi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H