Seiring pesatnya teknologi terutama internet, semakin pesat pula bahasa yang dipakai, salah satunya kata ghosting. Jika kita mencari di KBBI kata ghost tidak ditemukan. Kata ghosting sering digunakan oleh anak muda terutama remaja putri sebagai bahasa gaul yang artinya bayangan seperti hantu.
Ghosting sering digambarkan sebagai hubungan percintaan yang tidak jelas, pasangan seperti hantu. Pada awalnya mereka saling mencintai, sering bertemu atau memberi kabar, ujug-ujug menghilang ditelan bumi. Biasanya yang sering menjadi korban adalah perempuan, tetapi, belum ada bukti yang akurat sih.
Nyaman saja jika digunakan oleh sesama anak muda. Namun, jika orangtua yang tidak mengenal media sosial, ketika dicurhati anak perempuannya yang jadi korban ghosting akan bingung. Bahkan bisa-bisa tensi menjadi naik karena tidak paham bahasanya.
Baiklah sejak zaman dahulu kisah seperti ghosting itu sudah ada, hanya beda istilah saja. Aku akan cerita sedikit dari pengalaman seseorang menjadi korban ghosting dan cara mengatasinya ala zaman 90-an. Jika baik bisa diterapkan pada era 20-an.
Drama ini diperankan oleh seorang gadis yang bernama Ira. Ketika usianya sudah matang siap untuk menikah, seorang laki-laki dengan gagah datang ke rumahnya untuk titip kata ke orangtua. Sebenarnya Ira dan keluarga belum begitu mengenalnya, hanya pernah bertemu tiga kali.Â
Pertemuan pertama dikenalkan oleh seorang teman Ira. Pertemuan kedua dia datang berkunjung ke rumahnya dan ngobrol ngaler ngidul bersama keluarga termasuk bapak si gadis. Pertemuan ketiga, dia ngajak Ira ke sebuah warung baso solo, saat itu ada pertanyaan yang membuat Ira tampak kaget. Jika bisa dilihat jantungnya mungkin akan copot. Pernah ya jantungnya lepas? Hehe ...
"Mau menikah denganku?" tanya laki-laki itu singkat.
Entahlah gambaran hati seperti apa yang pantas digambarkan, selain tersenyum riang.
"Iya, bilang saja ke Bapak!" jawab gadis itu sambil menunduk.
Sepanjang perjalanan menuju pulang di angkot mereka diam. Antara malu dan senang tampak dari wajahnya yang selalu menunduk tetapi berseri.
"Saya minta izin akan menikahi putri Bapak," ucap laki-laki gagah itu ketika tiba di rumah Ira.
Bapak Ira sih menyambut gembira karena melihat tata krama laki-laki yang sopan, sudah memiliki pekerjaan tetap. Standar orangtua mungkin PNS gitu seperti Bapaknya yang PNS.
"Namun, pekan depan akan pergi pelatihan ke Tasikmalaya, setelah itu ada tugas ke Aceh selama satu tahun. Minta bersabar menunggu satu tahun." Panjang kali lebar kali tinggi dia menjelaskan sama dengan berapa ya? haha ...
Pada mulanya mungkin Ira merasa berat harus berpisah selama satu tahun, tetapi karena setiap pekan mereka rajin telpon, jauh pun akan terasa dekat. LDR-ran tidak terasa, hingga bulan keenam mereka rajin komunikasi baik telepon atau surat. Sayangnya belum ada namanya Hp, facebook, IG atau Wa, nelpon pun memakai telepon kantor dan sering jadi ledekan teman-temannya.
Ledekan dianggap sebagai penyemangat bagi Ira untuk menunggu, menunggu dan menunggu hingga awal tahun berikutnya. Belum genap tujuh bulan, telepon dan surat, tiba-tiba terhenti. Surat-surat yang dikirim tidak ada yang dibalas, telepon kantornya yang biasanya mudah tersambung, tiba-tiba terputus begitu saja.
Waktu berjalan hingga tanggal kedatangan tiba. Teman-teman kantor sudah siap-siap menerima undangan pernikahan Ira. Bapaknya sudah bahagia akan memiliki mantu. Namun, gadis itu sendiri merasa was-was karena enam bulan kedua laki-laki itu tidak pernah kirim kabar. Satu pekan sebelum kekasihnya kembali, gadis penunggu jodoh itu shalat istikharah meminta petunjuk, terbaikkah dia?
Ada sebuah mimpi, tetapi, ketika Ibunya mendengar penuturan tentang mimpi, dia hanya berkata, "Itu bunga tidur!" Mengabaikan mimpi itu jalan yang ditempuh Ira.
Malam itu ada dua orang tamu laki-laki dan perempuan muda. Wajah laki-laki itu tidak asing lagi, sedangkan perempuan muda tidak ada yang mengenalnya.
"Sebelumnya saya mohon maaf Pak, mungkin bukan jodoh dengan putri Bapak, Saya telah menikah dan perkenalkan ini istri saya," tuturnya sangat jelas hingga terdengar oleh Ira yang masih ada kamar.
Ini peristiwa jantung copot untuk kedua kalinya bagi Ira.
Dalam kasus seperti Ira, Ira tentu akan sakit hati, begitu juga orangtuanya. Merasa dipermainkan, tentu sempat ada di benak kita jika mengalami hal serupa. Namun di balik itu semua, kita tidak tahu takdir baik sudah disiapkan Tuhan untuk kita. Laki-laki itu bukan terbaik untuk Ira tetapi baik bagi perempuan lain.
Aku pernah mendengar dari salah satu sahabat. "Sedih, kecewa, marah, boleh saja, kita punya hak untuk bahagia, jangan memikirkan hal-hal yang dia tidak memikirkannya. Jika kita menjalin hubungan dengan lawan jenis persiapkan dua hal, pertama siap untuk menikah dan kedua siap jika tidak jadi menikah."
Semoga bermanfaat.
Salam hangat,
Sri Rohmatiah
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H