Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

"Boys Don't Cry!"

24 Desember 2020   11:53 Diperbarui: 24 Desember 2020   20:55 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi.lepositphotos.com

 

Boys Don't Cry adalah sebuah film yang mengangkat kisah nyata tentang isu transeksual. Naskah film yang ditulis oleh Kimberly Peirce dan Andy Bienen. Ditayangkan secara perdana di Festival Film Venesia, dan dirilis di Amerika Serikat pada tahun 1999. Film yang disutradarai oleh Kimberly Peirce mendapat dukungan dari berbagai pihak.

Namun, pada kesempatan ini saya tidak membahas tentang film tersebut. Saya tertarik dengan kalimat "Boys Don't Cry" yang dijadikan judul film. Kalimat seperti itu sering kita gunakan ketika anak kita menangis.

"Boy don't cyr!"

"Anak laki-laki jangan nangis!"

"Malu, anak laki jangan nangis!"

Perkataan seperti ini, tidak mungkin diucapkan dengan lemah lembut, sedikitnya ada tekanan nada kemarahan, ada raut muka kesal dari orang tua. Kita sebagai orang tua berpikir hanya orang dewasa atau anak perempuan saja yang boleh menangis.

Sebagai manusia, kita semua diberi perasaan, ungkapan kebahagiaan, sedih, bisa digambarkan dengan menangis. Jika anak-anak laki-laki atau perempuan, mereka mahir menangis untuk mengekpresikan perasan sedih, tidak setuju, kesal, takut, marah. Seandainya hanya diam di sudut kamar, kita harus khawatir.

Dikutip dari cnnindonesia.com, Lena Aburdene Derhally, terapis yang mengkhususkan diri di bidang kecemasan dan masalah antar pasangan, menulis di Washington Post, “Saya melihat ada seorang  ayah melarang anak lelakinya menangis dan menyebut tindakan itu sebagai perilaku anak perempuan. Seolah hanya perempuan yang boleh menunjukkan emosi mereka.”

Menurut Derhally anggapan seperti ini ada konsekuensi negatif yang serius. Selain membuat anak merasa malu menunjukan emosinya di muka umum  ucapan  itu sering kali terekam dalam ingatan si anak dan berdampak pada kehidupannya kemudian.

Seperti banyak kasus yang ditangani Derhally, pria yang tak bisa mengungkapkan emosinya dan memproses perasaan mereka sering berujung pada masalah kecemasan, depresi, sampai masalah dengan pasangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun