Boys Don't Cry adalah sebuah film yang mengangkat kisah nyata tentang isu transeksual. Naskah film yang ditulis oleh Kimberly Peirce dan Andy Bienen. Ditayangkan secara perdana di Festival Film Venesia, dan dirilis di Amerika Serikat pada tahun 1999. Film yang disutradarai oleh Kimberly Peirce mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Namun, pada kesempatan ini saya tidak membahas tentang film tersebut. Saya tertarik dengan kalimat "Boys Don't Cry" yang dijadikan judul film. Kalimat seperti itu sering kita gunakan ketika anak kita menangis.
"Boy don't cyr!"
"Anak laki-laki jangan nangis!"
"Malu, anak laki jangan nangis!"
Perkataan seperti ini, tidak mungkin diucapkan dengan lemah lembut, sedikitnya ada tekanan nada kemarahan, ada raut muka kesal dari orang tua. Kita sebagai orang tua berpikir hanya orang dewasa atau anak perempuan saja yang boleh menangis.
Sebagai manusia, kita semua diberi perasaan, ungkapan kebahagiaan, sedih, bisa digambarkan dengan menangis. Jika anak-anak laki-laki atau perempuan, mereka mahir menangis untuk mengekpresikan perasan sedih, tidak setuju, kesal, takut, marah. Seandainya hanya diam di sudut kamar, kita harus khawatir.
Dikutip dari cnnindonesia.com, Lena Aburdene Derhally, terapis yang mengkhususkan diri di bidang kecemasan dan masalah antar pasangan, menulis di Washington Post, “Saya melihat ada seorang ayah melarang anak lelakinya menangis dan menyebut tindakan itu sebagai perilaku anak perempuan. Seolah hanya perempuan yang boleh menunjukkan emosi mereka.”
Menurut Derhally anggapan seperti ini ada konsekuensi negatif yang serius. Selain membuat anak merasa malu menunjukan emosinya di muka umum ucapan itu sering kali terekam dalam ingatan si anak dan berdampak pada kehidupannya kemudian.
Seperti banyak kasus yang ditangani Derhally, pria yang tak bisa mengungkapkan emosinya dan memproses perasaan mereka sering berujung pada masalah kecemasan, depresi, sampai masalah dengan pasangannya.