Mohon tunggu...
Sri Rohmatiah Djalil
Sri Rohmatiah Djalil Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Penerima anugerah People Choice dan Kompasianer Paling Lestari dalam Kompasiana Awards 2023.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Rasa Penuh Makna

8 November 2020   15:42 Diperbarui: 8 November 2020   15:46 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seluruh mata terpejam, sekujur tubuh terlena dalam pembaringan, harapan terbang di angkasa seakan sudah tidak dapat diraih kembali. Aisyah masih terjaga di samping si sakit. Ingin rasanya  wanita cantik berhijab itu menangis menyaksikan suaminya. Tubuh terkujur kaku di pembaringan menahan rasa sakit yang dideritanya sejak lama.

Hidup Aisyah yang menderita semakin nestapa karena pelindung keluarga lemah tak berdaya. Memikirkan putri yang menginjak remaja, rasanya beban berat bagi Mira untuk melanjutkan hidup sendiri.

Wanita muda yang selalu tersenyum bahagia bersama suami dan putri semata wayang. Kali ini dicekam rasa ketakutan yang amat sangat ketika menyaksikan suaminya. Dia berjuang mempertahankan roh agar tetap di dalam raga.

Kedua tangan wanita cantik itu memegang dada Abdul dan berbisik, "Berjuanglah Pak, aku, dan putri kita akan membantumu dalam perjuangan ini, cerita kita belum usai."

Tiba-tiba tangan Abdul bergerak perlahan, mata mulai terbuka sedikit demi sedikit, Aisyah  terperanjat bahagia. Bel panggilan suster ditekannya, garis kekhawatiran di pipi wanita berkulit putih itu masih terlihat jelas.

"Jangan khawatir Bu, suaminya masih masa pemulihan setelah operasi ginjal." Keterangan suster cukup melegakan Aisyah.

"Bu, maafkan bapak ya, dari mana ibu mendapatkan uang untuk operasi bapak?" tanya Abdul lirih.
Aisyah tersenyum, supaya suaminya tidak gusar dengan masalah biaya operasi.

"Bapak tenang saja, kita masih punya tabungan sedikit, itu sudah cukup untuk biaya operasi," sambil mengelus kening suaminya, Aisyah membacakan shalawat dengan suara lirih tapi merdu didengar.

Tujuh hari dirawat di rumah sakit Islam, cukup menguras tabungan Aisyah yang selama sepuluh tahun dikumpulkannya dari hasil panen sawah.

Kesehatan Abdul sudah mulai membaik. Akan tetapi Aisyah melarang suaminya untuk bekerja di sawah, cukuplah memerintah orang. Aisyah sendiri mulai memberanikan diri pergi ke pasar sendiri tanpa ditemani suami.

Berada di jalanan sepertiga malam, itu suatu ketakutan bagi Aiyah, namun apa boleh dikata, kehidupan harus berlangsung, biaya berobat suaminya membengkak.

Dokter yang merawat menyarankan Aisyah untuk bergabung di BPJS. Penyakit Abdul sudah menjalar ke mana-mana. Kemungkinan untuk operasi tidak cukup sekali. Pukulan yang berat bagi Aisyah. Setelah dipikirkan dalam-dalam, usulan dokter diterimanya.

Ujian masih terus berlangsung, Aisyah harus merawat suaminya sekaligus mencari nafkah sebagai kepala keluarga. Semangatnya berkorbar tatkala melihat putri semata wayangnya giat belajar demi mencapai cita-citanya menjadi dokter.

 "Ibu .... Ibu," teriak Siti, putri semata wayang Aisyah dan Abdul dari dalam kamar.

"Apa, Nak?" tanya Aisyah sembari menghampiri putrinya.

"Lihatlah, Bu, aku bisa menjahit masker, aku juga melukisnya dengan cat acrylic." Siti memperlihatkan masker buatannya kepada sang Ibu.

"Wah cantik sekali, Nak," puji ibunya sambil memperhatikan hasil lukisan Siti.

"Bu, aku jahit banyak ya, kita jual, semoga ini bisa membantu kehidupan kita, lagi pula Ayah sudah tidak bisa bekerja lagi." Siti nyerocos menyampaikan idenya. Sementara ibunya tersenyum getir menyaksikan putrinya harus terkena imbas atas sakit sang ayah dan situasi Pandemi yang belum berakhir.

"Ibu, jangan sedih, perjuangan kita tidak seberapa dibandingkan pejuang zaman dahulu yang berjuang demi kemerdekaan. Ini kan hanya menjahit dan melukis, aku janji akan tetap belajar," ujar Siti sambil memeluk ibunya.

Keduanya tersenyum, walaupun tampak kesedihan dari raut wajah sang Ibu.

"Bismillah ya, Nak," bisik Aisyah kepada Siti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun