Melihat hasil lukisan yang dibuat oleh Orang Dengan Gangguan Jiwa yang beranekaragam, rasanya tidak adil jika mengharapkan hasil lukisan yang memukau seperti pelukis-pelukis pada umumnya. Karena sebelumnya tidak ada pengalaman bagi mereka untuk belajar teknik mewarna, teknik melukis. Alasan utama adalah karena kondisi mereka dalam keadaan tidak labil.
Sesungguhnya tidak ada ekspresi yang rumit, karya mereka menyerupai dan masih bisa dinikmati walaupun terlihat ganjil dan tidak seimbang, keganjilan tersebut bukan hal yang sengaja, melainkan memang demikian adanya.
Kegiatan melukis terhadap mereka pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa hanya untuk menjaga ingatan. Ingatan-ingatan tersebut mereka tuangkan dalam kanvas atau kertas.
Perihal seni di dalam rumah sakit jiwa nyatanya belum terlaksana dengan baik. Padahal banyak rumah sakit jiwa di Indonesia yang menempatkan seni sebagai aktivitas rutin bagi pasien ODGJ. Misalnya  RSJ. Dr. Soeharto Heerdjan Jakarta. Wediodiningrat Lawang. RSJ Dr. Radjiman. Kedua rumah sakit tersebut menempatkan seni sebagai kebiasaan sehari-hari bagi para ODGJ di ruang rehabilitasi.
Karya-karya pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa dipamerkan dalam Festival Bebas Batas bertajuk pameran Pokok di Ambang Batas, Galeri Nasional Jakarta dan Pameran Meneroka Batas di ISI Surakarta.
Pameran tersebut diadakan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.
Dikutif dari sambutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Muhajir Effendi, beliau mengatakan bahwasannya irisan antara seni tidak hanya berada dalam wilayah terapi. Karya-karya dalam pameran Festival Bebas Batas tidak dibaca sebagai sebuah diagnose kesehatan melainkan sebuah produk pendidikan bernilai artistic.
Sesungguhnya yang menyebabkan ODGJ terjerumus makin dalam ke stigma dan prasangka adalah diri kita sendiri yang gagal memahami mereka. Ketidakpahaman itulah mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang lebih buruk seperti memasung. Karena masih ada anggapan mereka sangat berbahaya dan bebas dari tanggung jawab.
Dalam banyak kasus stigma dan prasangka dari lingkungan di luar rumah sakit jiwa sering mendorong ketidakstabilan para ODGJ. Tidak sedikit ODGJ yang baik-baik saja saat di rumah sakit jiwa namun kembali bermasalah ketika kembali ke lingkungannya.
Dan pada akhirnya kita hendaknya menyadari bahwa stigma terhadap Orang Dengan Gangguan Jiwa adalah sumber diskriminasi untuk mereka.
Referensi : Kurator Hendromastro Prasetyo