Mohon tunggu...
sri rahayu yuningsih
sri rahayu yuningsih Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Nama lengkap saya Sri Rahayu Yuningsih, biasa dipanggil Ayu. Lahir di Karawang, 21 November 2001. Lulusan dari SMAN 41 Jakarta pada tahun 2020. Sekarang saya kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dari tahun 2022.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Gender Menurut Pandangan Islam

9 Juli 2023   07:43 Diperbarui: 9 Juli 2023   07:50 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wacana gender mulai berkembang di Indonesia pada tahun 1980-an. Isu gender telah berkembang sangat pesat dan produktif selama lima tahun terakhir dan jauh lebih cepat dari isu lainnya, termasuk isu-isu pluralis yang sama pentingnya. 

Gender sebenarnya bukan masalah kecuali menciptakan ketidakadilan, terutama bagi perempuan. Ketidakadilan gender adalah suatu sistem atau struktur sosial dimana seorang laki-laki atau perempuan menjadi korban. 

Ketidakadilan ini memanifestasikan dirinya dalam bentuk pengucilan, kemiskinan ekonomi, subordinasi atau keputusan politik. Pemiskinan ekonomi yang dimaksud adalah ketika perempuan karena faktor perbedaan jender dalam dunia kerja menempati posisi yang kurang strategis dalam meraih ekonomi yang besar.

 Perempuan sering dianggap lebih pantas mengurusi urusan yang berkaitan dengan pekerjaan yang larut dalam sifat emosional, karena pandangan bahwa perempuan mahluk yang emosional, tidak rasional, bahkan agama juga memandang perempuan sebagai makhluk yang kurang akalnya. Subrodinasi pada perempuan terjadi pada lembaga keluarga, masyarakat maupun negara. 

Perempuan dianggap memiliki kewajiban mengurusi urusan rumah tangga, karena sifat keibuan yang feminim seharusnya memang mengurusi urusan domestik. Dalam urusan publik, kemasyarakatan, dan negara, perempuan juga tidak boleh menjadi pemimpin karena perempuan dipandang sebagai makhluk yang kurang rasional, sehingga tidak pantas mengurusi urusan kepemimpinan (Fromm, 2002).

Ketika peradaban Barat memasuki dunia Islam, hukum Syariat Islam secara luas dikritik dan digugat. Keyakinan akan hak, peran dan kewajiban Muslim telah ditantang oleh wacana Barat dengan membahas isu kesetaraan gender. Tujuannya adalah kebebasan dan peran setara dari pria dan wanita di semua bidang kehidupan. Anehnya, pemikir Muslim terpengaruh dan wacana baru lahir di dunia Islam. Gagasan Islam tentang peran dan hak perempuan dipertanyakan dan dibongkar dengan dalih tidak sesuai dengan konteks waktu dan tidak adil bagi perempuan itu sendiri, mereka menuduh Islam memberi laki-laki lebih banyak kepentingan daripada perempuan di semua bidang kehidupan, termasuk masalah kepemimpinan, hak atas pakaian, pekerjaan, dan banyak lagi.

Persoalan jender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan jender (genderinequalities). Namun, yang menjadi persoalan, ternyata perbedaan jender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, bagi kaum laki-laki, dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan jender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.Untuk memahami bagaimana perbedaan jender menyebabkan ketidakadilan jender, dapat dilihat melalui berbagai manifestasi ketidakadilan yang ada.

Ajaran agama Islam adalah persamaan antara manusia tanpa mendiskriminasikan perbedaan jenis kelamin, negara, bangsa, suku dan keturunan: semuanya berada dalam posisi sejajar. Perbedaan yang digarisbawahi dan kemudian dapat meninggikan atau merendahkan kualitas seseorang hanyalah nilai pengabdian dan ketaqwaan kepada Allah. Sebagaimana ditegaskan dalam AlQur'an:

"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal, sesungguhnya yang termulia di antara kamu adalah yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah maha mengetahui dan maha melihat. Tuhan menciptakan manusia, baik laki-laki dan perempuan, dalam prinsip hubungan kemitraan.14 Demikian juga dalam konteks keluarga, hubungan suami"

Tuhan menciptakan manusia, baik laki-laki dan perempuan, dalam prinsip hubungan kemitraan. Demikian juga dalam konteks keluarga, hubungan suami-istri, mereka diciptakan untuk saling melindungi, dan diibaratkan seperti pakaian. Dan dalam beberapa ayat lain diungkapkan bahwa hak dan tanggung jawab sebagai manusia adalah sama dan tidak dibedakan, baik laki-laki dan perempuan, di hadapan Allah, di antara sesama manusia, maupun dalam keluarga.Dari beberapa ayat itu jelas bahwa Islam menunjunjung tinggi keadilan, kesejajaran, dan menolak segala diskriminasi atas jenis kelamin. Islam menempatkan perempuan sama dengan laki-laki, yang diukur menurut Allah hanyalah tingkat kualitas taqwa (Sidiq & Erihadiana, 2022).

Sejarah telah memberikan diskripsi yang nyata, bahwa sejak lima belas abad yang lampau, Islam telah menghapuskan diskriminasi berdasarkan kelamin. Bahkan jika terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan akibat fungsi dan perannya, maka perbedaan tersebut tidak harus menjadi harga mati untuk saling menunjukkan superioritasnya. Islam bahkan menganjurkan untuk saling membantu, melengkapi, dan melindungi. Tetapi harus kita akui secara jujur bahwa tradisi dan budaya masyarakat pra-Islam telah memposisikan perempuan sebagai makhluk yang tidak memiliki nilai. Sehingga kehadirannya dianggap sebagai aib yang membawa kehinaan bagi keluarga. Realitas ini sangat dikecam keras oleh Islam. Momentum ini menjadi bukti bahwa Islam berpihak kepada perempuan, bukan diskriminatif terhadap perempuan. Islam mempunyai prinsipprinsip, salah satu prinsip tersebut adalah prinsip persamaan antara sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan, dan keadilan, dengan memberikan keseimbangan pada keduanya.

Rasullullah SAW telah memulai tradisi baru dalam memandang perempuan. Pertama dia melakukan dekonstruksi terhadap cara pandang masyarakat Arab yang masih didominasi cara pandangan Fir'aun yang memandang setiap kelahiran perempuan sebagai aib bagi keluarga. Begitu sangat besar jasa Islam dalam memperjuangkan nasib perempuan. Pada masa sebelum Islam, perempuan dihina, ditempatkan sebagai barang yang berhak dimiliki dan dijual. Allah memuliakan perempuan begitu rupa dengan mengabadikan jenis kelamin perempuan sebagai salah satu surah dalam Al-Qur'an. Namun demikian semangat keadilan Islam bertolak belakang dengan realitas. Realitas sosial diwarnai oleh kondisi yang tidak adil kepada perempuan. Ketidakadilan itu menimpa perempuan karena bangunan konstruk sosial yang memandang perempuan sebagai makhluk nomor dua setelah laki-laki. Pandangan ini disebabkan oleh faktor budaya dan agama. Seolah-olah pandangan tentang perempuan sebagai makhluk lemah dan nomor dua dibenarkan oleh teks-teks Al-Qur'an. Pandangan inferior terhadap perempuan, salah satunya, muncul dari pemahamah bahwa perempuan tercipta dari fisik laki-laki. Pemehaman itu berdasar pada ayat Al-Qur'an:

"Allah telah menciptakan kamu (manusia) dari jiwa yang satu, kemudian menjadikan darinya seorang istri"

Sebagian ulama terdahulu seperti Imam Al-Qurtubi, Ibnu Kastir, Abu Al-Sa'ud, Imam Al-Zamaksyari, Al-Alusi, dan sebagian ulama kontemporer seperti Yusuf Qardawi menafsirkan bahwa penciptaan hawa berasal dari bagian tubuh Adam, yaitu dengan menyitir Hadis bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam yang bengkok di sebelah kiri atas. Sedangkan ulama kontemporer berpendapat bahwa proses penciptaan hawa sama dengan proses penciptaan Adam, bahkan pandangan tentang penciptaan dari tulang rusuk Adam dianggap berasal dari cerita dalam kitab perjanjian lama. Banyak ulama lain yang menolak pandangan bahwa hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam ini, seperti Asghar Ali Enginer, Asad dan Maulana Azad, bahkan Murtadlo Mutahari dan Quraisy Syihab (Khariri, 2009).

Daftar Pustaka:

Fromm, E. (2002). Cinta, Seksualitas, Matriarkhi Jender. Jalasutra.

Khariri. (2009). Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Islam: Reinterpretasi Fiqih Wanita. Jurnal Studi Gender & Anak, 4(1), 27--40.

Sidiq, Y. H., & Erihadiana, M. (2022). Gender Dalam Pandangan Islam. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 5(3), 875--882.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun