Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Sri Patmi: Bara

28 Juli 2021   11:43 Diperbarui: 29 Juli 2021   08:49 232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Arya menghampiri ibunya, mengangkat dandang dari tungku dan memindahkan nasi kedalam Tumbu bakul. Akhirnya, setelah 18 tahun ia bisa merasakan untuk pertama kalinya makan nasi dari sawahnya sendiri. Dari hasil tangan dan keringatnya sendiri. Arya meletakkan Tumbu bakul, sayur asam dan ikan asin diatas meja makan. 

"Sudah Bu, mari kita makan! Biarkan bara itu tetap menyala. Agar terasa hangat suasana siang yang diguyur hujan deras ini" ujarnya di meja makan. 

"Bagaimana,nak?" Matanya menatap dalam ke Arya 

"Sejauh ini, Arya lebih merasa nyaman hidup bersama alam. Meskipun resikonya lebih berat. Disini ada sebuah ketenangan. Bersama alam, mudah-mudahan kita akan bahagia,Bu"

"Dulu kan gaji kamu kerja di kota lebih dari hasil panenmu. Bahkan bisa menghidupi orang lain juga? Apa tidak sebaiknya kamu bekerja, menitipkan sawah agar digarap orang lain? Disana kamu menghasilkan, disini kamu tinggal mengontrol pekerjaan mereka?" 

"Masalahnya kalo bekerja sama orang konsepnya akan sama saja,Bu. Intinya cuma jadi kacung. Mau sebesar apapun rasa kepemilikan kita terhadap perusahaan, ya tetap saja statusnya karyawan. Akan berbeda hal dengan kita coba untuk usaha sendiri. Menjadi atasan untuk diri sendiri". 

"Ya, ibu hanya memberi pandangan. Jangan sampai kamu menjalankan dengan segala keterpaksaan. Kamu kan tahu kerja jadi petani? Ya susah, ya panas, ya hama padi, ya wereng. Apapun keputusan kamu, ibu menghargai dan restu ibu selalu untukmu" 

"Iya Bu, semoga selalu menghasilkan berkah dan yang terbaik untuk kehidupan kita". 

Arya dan ibunya melahap hasil padi dari tanahnya sendiri. Sembari menyaksikan bara yang masih menyala di tungku. Ia merasakan betapa rasa takut ibunya apabila sampai usaha ini gagal. Arya pun tak sanggup menutupi kegelisahan hatinya, meski tak dapat diutarakan langsung pada ibunya. 

Cuaca mulai memasuki pancaroba, ia tetap khawatir serangan demi serangan akan datang. Mungkin hari ini sudah selesai, keesokan harinya masih ada lagi. Dalam kegelisahannya ia tetap bersyukur, dulu ia bekerja dari pagi hingga larut malam baru tiba di rumah. Ada penghasilan dan jelas ada kehidupan didalamnya. Saat ini, ia bekerja di sawahnya sendiri siang dan malam, belum ada penghasilan. 

Ia masih hidup dan merasakan padi yang ia tanam sendiri dari sawahnya. Sama-sama masih makan, masih hidup, kondisi yang membedakan saat ini adalah besarnya keinginan dan tuntutan. Jika dulu, memiliki kepastian, setiap tanggal 30 sudah menerima upah, ia sudah meletakkan upah itu dalam posnya masing-masing. Saat ini ia harus seirit mungkin mempergunakan uang agar bisa menghidupi diri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun