Saat malam telah menjelma menjadi sebuah cahaya pemikat yang lebih terang bagi Arni. Dialah perempuan berusia 33 tahun yang masih melajang dan berprinsip didalam hidupnya. Ia terus memandangi dirinya yang masih terus mengejar impiannya di negeri Jiran menjadi seorang pengusaha sepatu kulit skala lokal. Mungkin banyak hal yang menjadikan ia terus memilih sendiri dalam keheningan.Â
Aktivitasnya dilalui dengan berbagai bentuk kesibukan. Mulai dari mengurus karyawan hingga mengurus banyak orang dalam sebuah yayasan sosial dan penyandang disabilitas. Hanya saja, ia tak pernah terlihat kerepotan mengurus semua hal itu secara bersamaan. Pikirannya rapi dan tertata dalam mengkonsep dan mengerjakan sesuatu.Â
Arni sudah mencoba beberapa kali membuka hati pada laki-laki. Bahkan ia sempat berkencan dengan pria hidung belang yang dikira orang baik. Tapi tak ada satupun lelaki yang singgah apalagi menetap dihatinya. Kecenderungannya adalah lelaki itu justru curhat dan menumpahkan segala unek-unek mereka pada Arni. Sudah seperti seorang guru BP yang memberi solusi. Terkesan baik dan selalu mengutamakan kepentingan orang lain diatas kepentingan pribadinya. Termasuk pada lelaki hidung belang itu, ia justru memberikan banyak konselling dan langkah agar kehidupannya jauh lebih baik.Â
Arni merasakan sikapnya pada lelaki semakin hambar. Ada ketakutan yang merajai didalam dirinya, jangan-jangan aku lesbi?Â
Lagi lagi jika bicara hidup, ibarat peribahasa Urip iku Wang sinawang.. hidup itu memandang dan saling memandang. Seakan-akan selalu melihat kehidupan orang lain itu menyenangkan dan lebih baik dari kehidupan kita saat ini. Sama halnya dengan Arni. Dimata banyak orang ia adalah gadis yang mandiri, berpenghasilan, berjiwa sosial yang tinggi. Peliknya permasalahan hidupnya justru diabaikan karena memang diri sendiri bukan tujuan hidupnya.Â
Sejak kejadian 8 tahun lalu ditengah malam saat kota metropolitan sudah lelap dalam buaian sang malam. Arni mulai menutup kios sepatu kulitnya yang baru saja selesai stock opname. Dalam langkahnya menuju apartemen, ada 2 sosok pemuda yang mengikuti mulai dari lift hingga beberapa meter dari kamar apartemennya. Arni sama sekali tidak menyadari itu, ia hanya merasa jika dua pemuda itu adalah penghuni apartemen juga.Â
Setelah beberapa menit Arni masuk kedalam kamar, ia langsung dibuat tak sadarkan diri. Pagi buta menjelang didalam dingin yang menusuk, helaian pakaiannya burai di kasur. Dengan tangisan yang tak pernah didengar oleh siapapun ia memastikan keluar kamar. Siapa yang telah menelanjanginya dan dan meninggalkan beberapa bercak cairan pada sprei berwarna putih ini. Dengan segala kebimbangan ia berusaha untuk menyembunyikan rahasia itu bertahun lamanya. Ia pergi tanpa sepatah katapun pada malam yang tak meninggalkan pesan apalagi menyelimutinya dalam kedinginan yang menusuk tajam. Keinginannya hanya sederhana dengan mencari siapa sosok pemuda yang telah lancang mempermainkan dirinya.Â
Beberapa pil dalam botol ia telan. Seakan rasa sakit akibat susah tidur dan kondisi tidak tenang akan terobati. Kembali lagi Arni diikuti dengan sosok pemuda di apartemen waktu dulu. Ia sudah tanpa busana lagi. Kengerian macam apa ini, ketika ia mencari sosok itu justru kejadian itu akan terulang kembali.Â
Lagi dan lagi.. ia terbangun dalam pagi yang masih gelap. Dengan berselimut kehangatan. Saat tersadar slaam tempat tidurnya, 5 butir pil antipsikotik ada didalam genggamannya. Saat tidur, ia lupa meminumnya dan merasakan delusi berulang kali.Â
Salam,Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H