Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Sri Patmi: Dicumbui Bayangan

15 Juni 2021   09:21 Diperbarui: 15 Juni 2021   09:48 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam ini kerinduannya masih menggebu. Mengerang kesakitan dimakan ambisi yang tak pernah terpenuhi. Benar memang pertemuan mereka beberapa waktu ini selalu memberikan cerita dalam untaian kalimat penuh makna. Bahkan kepergiannya menuju negeri antah berantah sudah menghadirkan rasa kehilangan sebelum memiliki. Batangnya hadir didalam diri yang tak memiliki bayang. 

Arifin tak pernah menyadari keberadaan bayang yang selalu mengikutinya. Berjalan, berlari, terhentak, tertidur bahkan diwaktu gelap datang bayang dirinya selalu menyelimuti. Sedari kehadiran bayang dibawah sorot mentari pagi ini, ia mulai merasakan ada yang membuntuti. Bulu kuduknya merinding. 

"Ahhh.. anak setan! Masa tengah hari bolong begini ada setan ngikutin gue!"

Arifin melanjutkan perjalanannya memasuki hutan yang makin pekat. Cahaya matahari mereda karena rapatnya vegetasi hutan. Bermodalkan nekad ia masuk kedalam hutan, dipenuhi dengan rasa iseng berbalut ngeri. Suara tonggeret memanggil-manggil. Setelah berjalan makin jauh dari keramaian, ia menyadari ini bukan modal nekad. Inilah bentuk keyakinannya terhadap jalan hidup yang lebih baik. Kemanapun perginya hanya alam yang akan mendekap dengan penuh kasih dan kehangatan. 

Kakinya menjejak tanah yang katanya tempat paling nyaman untuk berpijak. Tak ada apapun selain dua helai baju dan celana yang ia kenakan. Bekal menuju jalan kematiannya jika babi hutan atau macan kumbang dilanda rasa lapar yang tak dapat ditawar. 

Lagi... 

Bulu kuduknya berdiri. Ia terdiam menoleh kebelakang. Berjalan 2 langkah kedepan dan menoleh. Arifin berlari kencang. 

Lagi... 

Bayang itu ikutan berlari kencang. Ia mulai menginjak dan mencongkel bagian bayang yang menempel pada tumit kaki. Ia makin kebingungan ketika malam sudah datang, bayang dirinya selalu ada. Senja mulai menepi, malam mulai menghampiri. Arifin berteduh dibawah pohon sengon dari hujan serapah dari sang malam. Faktanya selama ini, hidupnya adalah malam. Dengan urat-urat tangannya yang terlihat menonjol di kulit ari yang melegam, ia mengumpulkan kayu bakar. 

Telapak tangannya berbenturan antara kanan dan kiri. Ia pun kebingungan dengan dirinya, katanya ia adalah malam, tapi kenapa kemalaman? Katanya ia siang, tapi kenapa kesiangan? Katanya ia pagi, kenapa kepagian? Katanya ia dingin, kenapa ia kedinginan? Katanya ia api, tapi kenapa ia terbakar? Kelakar tawanya berkoar ditengah hutan tanpa manusia lain yang menjelma. 

Tak lama, tawa itu kembali disambut dengan tawa yang sama. 

"Ahh..  gue nggak lagi bercanda kawan! Sini kalo mau bantuin nyalain api gue yang masih dingin!" 

Sosok perempuan bergaun putih sederhana menghampiri. Arifin mulai kebingungan tapi tetap terlihat tenang. Ia memastikan kembali pandangannya yang mulai kabur karena malam sudah menutup tirai penglihatannya. 

"Salam maharaja. Terima kasih atas kehadirannya disinggasanamu. Bagaimana kabar semesta tanpa cerita?"

"Si... Si.. siapa?" 

"Mei masih belum berlalu. Maharaja bersama selalu"

"Maksudnya? Mei istriku?" 

"Disini ada kerinduanmu" 

Arifin berjalan mengikuti perempuan bergaun putih. Hingga tiba pada suatu tempat yang paling gelap. 

"Mei" ujar Arifin 

Lantas mereka saling melepaskan kerinduan yang terpisah oleh jarak ruang dan waktu. Rasanya buncah, meledak hingga memenuhi langit dengan gemintang yang tak terbilang. Romantisme terjaga hingga gelap jatuh menemui jingga yang merona di ufuk fajar. Inilah kehidupan yang selalu didambakan oleh Arifin. Jauh dari keramaian, kehidupan yang semu dan kefanaan yang meraja. 

Ia tersadar dan berada dalam lubang besar di tanah lapang yang luas. Diantara bukit-bukit sebagai pagar pembatas tanah yang bergoyang. Istana putih yang megah. Entah pada kehidupan mana, ia pernah tinggal dan bersama dengan istrinya disini. 

Kesadarannya mulai kembali. 

"Pada dimensi waktu mana aku berdiri? Bukan di dunia ini seharusnya aku berlari. Aku dari masa lalu yang menjelma pada masa sekarang. Tak mungkin! Bajuku... baju manusia masa sekarang!" 

Ia kembali masuk dalam istana putih dan disambut ribuan prajurit, mereka semua menyambut kepergian sang maharaja. 

Salam, 

Sri Patmi 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun