"Ahh.. Â gue nggak lagi bercanda kawan! Sini kalo mau bantuin nyalain api gue yang masih dingin!"Â
Sosok perempuan bergaun putih sederhana menghampiri. Arifin mulai kebingungan tapi tetap terlihat tenang. Ia memastikan kembali pandangannya yang mulai kabur karena malam sudah menutup tirai penglihatannya.Â
"Salam maharaja. Terima kasih atas kehadirannya disinggasanamu. Bagaimana kabar semesta tanpa cerita?"
"Si... Si.. siapa?"Â
"Mei masih belum berlalu. Maharaja bersama selalu"
"Maksudnya? Mei istriku?"Â
"Disini ada kerinduanmu"Â
Arifin berjalan mengikuti perempuan bergaun putih. Hingga tiba pada suatu tempat yang paling gelap.Â
"Mei" ujar ArifinÂ
Lantas mereka saling melepaskan kerinduan yang terpisah oleh jarak ruang dan waktu. Rasanya buncah, meledak hingga memenuhi langit dengan gemintang yang tak terbilang. Romantisme terjaga hingga gelap jatuh menemui jingga yang merona di ufuk fajar. Inilah kehidupan yang selalu didambakan oleh Arifin. Jauh dari keramaian, kehidupan yang semu dan kefanaan yang meraja.Â
Ia tersadar dan berada dalam lubang besar di tanah lapang yang luas. Diantara bukit-bukit sebagai pagar pembatas tanah yang bergoyang. Istana putih yang megah. Entah pada kehidupan mana, ia pernah tinggal dan bersama dengan istrinya disini.Â