Kepingan kaca yang pecah ini masih kugenggam di dalam tangan. Meski tajam tapi ia tak pernah melukai.
Mengapa?Â
Karena aku menyusun kepingan kaca itu dengan rapi. Kubungkus dengan kain mori agar tak pernah terlihat ada serpihan yang kalau dibuka akan terus melukai. Dalam perjalanan menuju samudera yang luas, bungkusan kain itu terkadang kubuka. Setiap kali aku menuliskan jejak peristiwa di atas setumpuk kertas mentah yang masih berfotosintesis. Tanpa melakukan itu semua, aku takkan pernah ada.Â
Kutapaki jalan yang masih kaku karena keras tak lagi dapat dirayu. Sudah sedari lama, gesekan dan liukan ini membungkus kehidupanku. Berada dalam damai yang ternyata riuh. Membungkus perang dalam sebuah nyaman. Membingkai noda yang tersembunyi dalam kemewahan yang tak pernah berbunyi.Â
Kini, tempatku berdiri di samudera yang luas. Tepiannya tak lagi memberi janji. Riak gelombangnya sudah lelah untuk menguji. Saat tiba di antara air dan pair, ternyata tangan ini kembali mengingatkan. Air ini terasa hambar dan tak dapat kugenggam. Hanya seutas kain mori yang membungkus genggaman. Menoleh ke belakang, ternyata ragaku sudah dilumat oleh gigi-gigi tajam para serigala. Andai bisa kumemutar waktu, akan kusayat daging mereka terlebih dahulu dengan kepingan kaca di genggamanku.Â
Salam,Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H