Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Artikel Sri Patmi: Ironi Istri yang Dipoligami

1 Mei 2021   23:40 Diperbarui: 1 Mei 2021   23:50 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di negeri ini, fenomena istri kedua menjadi sebuah stigma negative bagi sebagian besar orang. Utamanya dari sudut pandang psikologis perempuan dan tumbuh kembang anak. Permasalahan ini bagaikan mengurai benang yang kusut. Jika diurai akan panjang runutannya hingga bertemu pada setiap bagian ujungnya dan memerlukan waktu yang lama. Poligami dari sudut pandang agama islam diizinkan dengan beberapa syarat. Termaktub dalam Q.S. Annisa ayat 3 "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian iru adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya". Syarat lainnya adalah mampu berlaku adil, mencukupi nafkah lahir dan batin, dilarang menikahi dua perempuan yang memiliki hubungan darah, meniatkan semata-mata hanya untuk iabdah, serta mampu menjaga kehormatan para istri.

Meski demikian, besarnya kerelaan hati seorang perempuan tidak dapat dibandingkan dengan panasnya bara api yang menyala didalam dada. Kendati rela atas dasar mencari keridhoan Allah, bergantung pada suami berasaskan rasa taat yang yang diyakini, pemenuhan afeksi dan rasa aman serta dilindungi. Perempuan baik istri pertama, kedua dan seterusnya akan merasakan ketidaknyamanan dalam bentuk besar dan kecil. Kelapangan hati untuk menerima tak pernah bisa dilihat dalam bentuk kasat mata. Kita tidak pernah tahu perang batin yang yang dirasakan dalam kondisi diam dan tangisnya. Sampai dengan saat ini, tak ada yang bisa menjamin ukuran standar dari sikap adil yang dimaksud dalam syarat tersebut. Jika tataran adil yang dimaksud menempatkan sesuatu pada porsi atau tempatnya, dimana posisi tertinggi bagi seorang perempuan yang besar penerimaannya atas pembagian cinta yang tak tahu seberapa besar porsi atas diri mereka masing-masing?

Permasalahan ini akan berdampakm pada garis keturunan dari hasil perkawinan poligami utamanya legitimasi dihadapan hukum. Ironi ini justru menimbulkan kecenderungan perhitungan untung dan rugi bagi kedua belah pihak. Banyak opini yang sudah menjadi rubric paling menarik jika pembahasan poligami mencuat dimata publik. Dimana pihak pria lebih banyak mendapatkan keuntungan dan perempuan mengalami kerugian. Sudut pandang permasalahan poligami menjadi sebatas kausalitas untuk dan rugi transaksi manusia stu dengan yang lainnya. Sikap ini dapat menggiring opini publik menjadi beragam. Tendesius terhadap agama, kepentingan para feodal untuk melancarkan suatu urusan, dan pemuasan terhadap birahi pria semata dengan menunggangi dalil-dalil agama didalamnya.

Padahal jika ditelusuri lebih mendalam, Rasulullah SAW melakukan monogami lebih lama dibandingkan saat berpoligami. Bagian dari essensi pembelajaran kehidupan ini seakan cenderung diabaikan. Bagian lain yang terlupakan dalam kondisi ini adalah fakta terbalik tentang sebuah konstruksi realitas. Posisinya ialah anak perempuan/saudara perempuan/ibu dipoligami?

Menjalankan konsep poligami tidak semudah yang dibayangkan oleh kebanyakan orang. Pada dasarnya kehidupan berpoligami lebih pelik dan kompleks. Satu bagian dengan yang lainnya yang terpisah dijadikan menjadi sebuah keutuhan. Hal ini akan berbenturan dengan dogma agama dan egosentris untuk menjalankannya. Pada hakikatnya perjalanan satu kehidupan dengan yang lainnya akan mengajarkan setiap manusia tentang warna. Jalan apapun yang ditempuh, ilmu apapun yang diperoleh dalam proses bergeraknya waktu, maknai dengan setinggi-tingginya pemaknaan untuk diri sendiri. Bukan untuk melakukan penghakiman benar dan salahnya kehidupan orang lain.

Salam,

Sri Patmi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun