Mohon tunggu...
Sri Patmi
Sri Patmi Mohon Tunggu... Penulis - Bagian Dari Sebuah Kehidupan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis adalah Bagian dari Self Therapy www.sripatmi.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Narasi Sri Patmi: Rintik Hujan yang Membiru

11 Desember 2020   08:19 Diperbarui: 11 Desember 2020   08:31 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesaat setelah kekosongan itu melanda ada suara hentakan besi bertemu dengan besi. Mereka saling bergesekan untuk menghasilkan sebuah gerak yang melaju begitu cepat. Sudah kulihat hempasan angin dari jendela. Begitu cepat bertabrakan dengan besi yang melaju lebih cepat dari biasanya. Sering kali aku harus mengulanginya seperti ini. Sudah tidak ada waktu untuk menerka-nerka karena aku sudah tak terlalu muda. Aku juga belum terlalu tua untuk menghakimi sesama manusia. Saat ini aku hanya menjalaninya. Tak ada bekal kekuatan apapun selain keyakinan. Keteguhan hati pada yang Maha Kuasa. Jalan keabadian yang akan kita raih bukan untuk sementara waktu. 


Jendela berdebu yang dihempas oleh waktu. Sesekali tertimpa hujan. Titik airnya masih tertinggal. Merintih kesakitan ketika ditarik oleh hempasan angin yang melaju kencang. Berpegangan erat tetap jatuh. Titik airnya menikmati jatuh itu dengan tenang. Mendarat di rumput yang bergoyang. Masih dihempaskan lagi ketika besi itu melaju tak kenal waktu. Sudah seperti kehidupan ini yang akan terus melaju. Siapa yang tak kuat melaluinya akan digilas oleh waktu. Jika aku sampaikan kepada dirimu, kau tak akan pernah percaya jika tangisan hujan itu rintihan takdirnya yang jatuh. Sudah didekatkan dengan tanah. Tempat ia merasa nyaman didalamnya. Berada dalam hangatnya permukaan bumi dan dinginnya inti bumi. Tak membuat air itu membeku meski demikian adanya. Tetap cair meski sesekali harus menetes. Pertemhan antara air dan air. Air dari kumpulan cumulonimbus yang terus dihempaskan angin lalu jatuh menjadi rintik hujan. Air dari kumpulan bola mata yang didorong keluar karena isakan demi isakannya akan menciptakan ruang untuk membendung samudera. Ruang untuk tempat tidur ternyaman bagi sebagian orang. Buihnya akan menetes tak pernah habis. Melalui proses panas dan dingin yang sederhana dalam mekanisme organ tubuh yang diciptakan Tuhan untukku. Sistem yang dihubungkan dengan ruh sesungguhnya. 


Halimun masih menembus dinding-dinding syaraf yang beku. Berhenti aliran darahnya dalam nadi. Digores lagi sudah tak menetes. Hanya ada aku yang terpaku menapaki waktu demi waktu. Membiru indraku. Susah payah kumelepasmu. Terengah-engah napas ini dipenggal oleh tumbukan-tumbukan roda besi yang saling bertemu. Menjijikan ketika aku harus menggantungkan harapanku untuk meraih kemuliaan dengan pengetahuan. Berhadapan langsung dengan keculasan. Hingga aku tahu sendiri titik kelemahan culas itu disampaikan oleh awan dan hujan. Tapi aku tidak menghabisinya. Biar aku yang mengalah untuk mendapatkan muliaku bersama dinginnya hujan. Panasnya awan. Aku sudah banyak diam sepertimu hujan. Meski jatuh tetap diam. Kemanapun kau jatuh. Pergimu yang menjauh. Jatuh ke selokan, tempat hina sekalipun penampungan tinja sekalipun.kau tetap kembali pada langitmu yang biru.enjadu kelam bila gumpalannya banyak dan menghitam. Jika suara langitnya telah siap menggelegar memekik telinga. Manusia takkan mampu menghindar selain bersembunyi dengan kedua telapak tangannya. Kilatan cahayanya akan mengagungkan asma-Mu Tuhan. 


Hujan... Kaulah kunci langit dan bumi. Kau tahu dimana gerbang-gerbangnya akan terbuka dan tertutup. Kau juga tahu dimana setiap detak jantung ini akan bertaut. Setiap hembusan napas ini mulai terdengar perlahan lalu diserap oleh stomata tumbuhan. Setiap nadi yang bergerak ada aliran darah didalamnya. Cederanya membuat membiru. Sungguh... Aku tak pernah kuasa untuk berkehendak semauku sendiri. Sudah kuulangi waktuku untuk mati dan hidup kembali dengan membiru. Dengan cara yang berbeda tetapi aku tak dapat mengulanginya dalam sepenggal balada yang sama. Jika aku hanya membutuhkan berjalan, sejak dulu aku menyenanginya. Dimanapun aku akan merasa nyaman. Tapi tolong... Jangan hilangkan dia. Tunjukanlah kunciannya! Aku berjanji untuk bermohon Tuhan jagakan dia. Seperti cumulonimbus menjaga hujan. Jangan biarkan hujanmu membiru seperti diriku. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun