Dapat dipahami bahwa asas legalitas di sini menjadi batasan sekaligus jaminan dan perlindungan terhadap hak hak kebebasan seseorang agar tidak simpiangi dan disewenang-wenangi oleh penguasa dan hukum. Â Â Â Â Â
Asas legalitas yang pada hakikatnya menginginkan hukum pidana itu harus dirumuskan secara tertulis, rigid, prospektif, dan kepastian. Dengan demikian, asas legalitas tersebut dapat diderivasi menjadi beberapa proposisi sebagai berikut.
Pertama, konsep lex scripta, yaitu bahwa legalitas mengandalkan pada hukum tertulis. Setiap orang hanya dapat dituntut pidana karena perbuatannya apabila terlebih dulu terdapat rumusan peraturan perundang-undangan yang menyatakan perbuatan demikian itu sebagai tindak pidana.
Dalam konsep ini akan muncul polemik antara ajaran sifat melawan hukum yang formal dengan sifat melawan hukum yang material. Â
Konsep lex scripta memiliki kecenderungan kuat untuk lebih menyukai ajaran sifat melawan hukum yang formal, bahwa aturan pidana haruslah yang tercantum dalam undang-undang (wettelijke strafbepaling).[3]Â
Adapun sifat melawan hukum materil terbagi dua, yakni melawan hukum materil dalam fungsinya yang positif dimana suatu perbuatan tidak diatur didalam suatu perundang-undangan namun mencederai keadilan didalam kehidupan bermasyarakat. Dan untuk perbuatan melawan hukum materil dalam fungsi negatif, perbuatan tersebut diatur didalam suatu perundang-undangan namun tidak mencederai rasa keadilan didalam masyarakat. Â
Kedua, konsep lex stricta, yaitu bahwa hukum tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas sehingga merugikan subjek pelaku perbuatan tersebut. Rigiditas tersebut membuat metode penemuan hukum yang memperluas makna, khususnya analogi, menjadi metode terlarang dalam hukum pidana.
Ketiga, konsep lex temporis delicti / Lex Praevia. Konsep ini mengandung makna sebagai larangan retroaktif. Dengan demikian, rumusan hukum pidana selalu berlaku ke depan (prospektif), bukan berlaku surut (retroaktif). Pasal 1 ayat (1) KUHP secara tegas mengisyaratkan lex temporis delicti ini. Larangan berlaku surut tersebut ternyata tidak berlaku mutlak karena Pasal 4 Undang-Undang RI No. 35 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan :
"Hak untuk hidup, hak untuk tidak disika, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati  nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak unutk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas  dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun."Â
Adapun penjelasan Pasal 4 UU HAM menyatakan:
"yang dimaksud dengan dalam keadaan apapun termasuk perang, sengketa bersenjata dan atau keadaan darurat. Yang dimaksud dengan siapapun adalah negara, pemerintah dan atau anggota masyarakat.Â