Asas Legalitas dalam hukum pidana adalah merupakan roh, merupakan aturan dasar yang sangat erat dengan pemberlakuan hukum pidana. Asas legalitas dalam Bahasa Belanda dikenal dengan Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling"
Adapun di Indonesia termaktub didalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan :
"suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada"
Yang artinya "Tidak ada suatu perbuatan yang dapat dihukum, kecuali berdasarkan ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah ada terlebih dahulu daripada perbuatannya itu sendiri" (Lamintang, 1984: 118).[1]Â
Sejarah Asas Legalitas
Asas legalitas muncul setelah adanya gerakan yang menentang absolutisme yang diberlakukan oleh penguasa romawi kuno yang dalam pemerintahnnya. Dimana penguasa bebas melakukan penghukuman berdasarkan standarisasi yang dibuatnya secara sewenang-wenang. Penguasa Romawi kuno dapat menjatuhkan sanksi kepada siapapun yang tidak ia sukai dengan dalih ia telah melakukan perbuatan jahat.
Anselm von Feuerbach (1775-1833) sebagai Pelopor lahirnya asas legalitas dengan menuliskan tentang asas legalitas dalam bukunya melalui Lehrbuch des panlichen recht pada Tahun 1801 mencoba menggambarkan semua keterkaitan dua fungsi di atas dalam bahasa Latin berupa tiga proposisi sebagai berikut: (1) nulla poena sine lege (tiada pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang); (2) nulla poena sine crimine (tiada pidana tanpa tindak pidana); dan (3) nullum crimen sine poena legali (tiada tindak pidana tanpa pidana menurut undang-undang).[2]
Teori Anselm Von Feuerbach disini telah memperjelas apa saja ruang lingkup dari Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai norma terhadap asas legalitas, dimana asas legalitas tidak sekedar dipahami dengan perbuatan tidak dapat dipidana tanpa adanya aturan perundang-undangan yang mengatur sebelumnya.
Tujuan Asas Legalitas    Â
Jika mencermati Pasal 1 ayat (1) tersebut, maksud yang ingin dicapai ialah suatu perbuatan tidak dapat dipidana atau dikatakan sebagai suatu perbuatan pidana sebelum adanya perundang-undangan yang menyatakan perbuatan tersebut sebagai perbuatan pidana dan dapat dijatuhi pidana.Â
Jikalau ada seseorang yang melakukan suatu perbuatan, lantas perbuatan tersebut tidak dan atau belum diatur didalam suatu perundang-undangan, bahwa perbuatan tersebut adalah suatu perbuatan yang dapat dijatuhi pidana, maka orang tersebut tidaklah dapat dijatuhi pidana atas perbuatan yang dilakukannya itu.