Mohon tunggu...
Sri Nurhidayah
Sri Nurhidayah Mohon Tunggu... -

Seorang ibu dengan 2 orang anak, sedang belajar menulis dan mencintai dunia pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melawan Perilaku Korup di Bangku Pendidikan*

25 Januari 2016   19:17 Diperbarui: 25 Januari 2016   19:17 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu panduan yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk anak-anak muda adalah buku berjudul Pahami Dulu Baru Lawan. Membaca lembar demi lembar buku tersebut membuat sentakan hebat. Membaca contoh kasus dan membandingkan fakta dan data hari ini hasilnya tidak hanya mengejutkan, tetapi juga mengisyaratkan betapa darurat praktik korupsi di Indonesia.

Contoh-contoh tindakan korupsi ini sebagian besar secara kasatmata diperlihatkan orang-orang dewasa kepada anak-anak kita. Dalam buku tersebut, tindakan korupsi secara ringkas dikelompokkan menjadi tujuh bagian. Salah satunya adalah korupsi yang berhubungan dengan kecurangan. Di dunia pendidikan terdapat satu tindakan korupsi jenis ini yang telah berjalan masif dan nyaris tidak pernah dibicarakan secara serius. Perilaku curang yang dimaksudkan adalah penggunaan barang bajakan untuk kegiatan sehari-hari. Atas nama untuk kemajuan pendidikan, membajak aplikasi berbayar dihalalkan. Sudah tentu, cara pandang demikian tidak dibenarkan demi menoleransi kecurangan.

Hari ini hampir semua kegiatan kita tidak bisa terlepas dari komputasi, baik berupa komputer jinjing (laptop), komputer meja (desktop/PC) atau bahkan belakangan gawai yang berfungsi layaknya komputer. Semua peranti ini dikenal sebagai teman menulis dan membaca. Hampir semua pekerjaan dan tugas di dunia pendidikan menggunakannya. Tidak terkecuali di tanah air, banyak pendidik sudah akrab dengan komputer dalam beragam bentuknya.

Sayangnya, kepemilikan komputer tidak serta-merta diiringi pemahaman pentingnya legalitas software yang digunakan. Menurut International Data Cooperation pada 2012 software bajakan yang beredar di Indonesia sampai 86 persen. Dipastikan hampir di semua lembaga pendidikan memakai software bajakan, dari pendidikan tinggi hingga dasar. Dosen, guru, mahasiswa, siswa terlibat sebagai pelakunya. Sebagian mereka mungkin sudah menggunakan sistem operasi yang berlisensi, namun saat masuk ke aplikasi Office atau lainnya, sebagian tetap menggunakan software bajakan. Alasan yang sering dikemukakan adalah masalah harga software asli yang relatif mahal. Anehnya lagi, alasan ini jadi pembenar mayoritas kita untuk menggunakan software bajakan.

Sebenarnya Linux, software gratis berbasis open source, bisa menjadi pilihan saat ini. Salah satu kemudahan dari CD Linux adalah isinya tidak hanya sistem operasi, tapi juga program Office (word, spreadsheet, presentation, database), mengolah foto, program menggambar, dan sebagainya. Berbeda dengan software yang berbayar, saat membeli CD tersebut hanya berisi sistem operasi. Maka kalau kita ingin program Office, harus membeli CD Office; ingin mengolah foto maka harus membeli CD lain.

Biasanya kerawanan perilaku curang terjadi saat kita membeli laptop yang sudah terinstal sistem operasi berbayar di dalamnya. Sebetulnya tertanamnya sistem operasi berbayar ini tidak sepenuhnya cuma-cuma mengingat konsumen sudah membayarnya dalam harga laptop. Produsen laptop menggandeng produsen sistem operasi untuk membantu konsumen dengan pemberian harga lebih murah dibandingkan harga normal. Strategi ini ditempuh produsen aplikasi untuk menekan angka pembajakan karyanya. Akan tetapi, niat baik produsen aplikasi tidak otomatis mengubah cara berpikir konsumen. Sebagian konsumen yang mendapatkan “gratis” sistem operasi justru tergoda untuk menggunakan Office bajakan karena—lagi-lagi—merasa keberatan membayar harga aslinya.

Memilih sistem open source sejatinya bukan melulu bicara harga beli atau cuma-cuma. Mengapa? Hal yang tidak disadari para konsumen komputer, terlebih lagi para pendidik, pilihan terhadap Linux merupakan cara membangun kejujuran dalam memanfaatkan teknologi informasi yang akhirnya berujung pada penegakan antikorupsi. Ada tiga alasan penting lainnya untuk dunia pendidikan mulai berpikir beralih ke Linux.

Alasan pertama adalah bahwa negara ini bukan negara kaya. Bank Indonesia (BI) mencatat jumlah utang luar negeri yang ditarik swasta dan pemerintah pada Juli 2015 sebesar US$ 303,7 miliar atau mencapai Rp 4.376,3 triliun (kurs pada Juli Rp 14.410/US$). Alangkah sayangnya bila kita harus mengeluarkan uang untuk sebuah produk, sementara masih ada produk sejenis yang tidak kalah kualitasnya dan bisa didapatkan dengan cara gratis.

Alasan kedua, Indonesia sampai saat ini tetap menjadi negara pembajak software yang “diperhitungkan”. Data dari survei IDC mengenai Global Software Piracy Study menunjukkan bahwa Indonesia tahun 2012 menjadi peringkat ke-2 pembajak terbesar! Linux memberi peluang bagi negara berkembang (kalau tidak boleh disebut miskin) seperti Indonesia untuk menguasai teknologi tanpa harus mencuri. Untuk yang beragama Islam, MUI dan beberapa ulama di berbagai negara Islam telah mengeluarkan fatwa bahwa menggunakan barang bajakan, termasuk software, adalah haram.

Alasan terakhir, terkait filosofi Linux yang dibuat oleh banyak pihak yang berbeda. Indonesia punya Linux Nusantara yang didanai pemerintah, BlankOn yang dibuat yayasan dan sebagian komunitas Linux di Indonesia. Ubuntu dibuat perusahaan bernama Canonical Ltd yang berpusat di Eropa, Mandriva dibuat di Perancis, Fedora dibuat di Amerika, openSUSE disponsori perusahaan di Jerman. Masih banyak jenis Linux lain yang dibuat pihak yang berbeda. Semuanya tanpa monopoli. Hal yang tidak mungkin terjadi dengan software berbayar yang dibuat oleh hanya satu perusahaan.

Bagaimana memulai dunia pendidikan tidak membajak? Bukankan ini mustahil? Permulaan migrasi ke software berbayar ke Linux, kuncinya terletak pada guru. Di mana ada kemauan dan kesungguhan, di situ ada jalan. Bisa diambil contoh nyata di Sekolah SMART Ekselensia Bogor, Jawa Barat. Guru IT di sekolah ini sejak semula berkemauan keras untuk bermigrasi ke Ubuntu. Hasilnya tidak serumit yang dibayangkan. Para siswa tidak ada masalah; mereka menikmati belajar dan tidak mengalami kesulitan berarti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun