Pelaku marketing atau salesman tentu akan heran membaca judul yang saya tulis. Dalam doktrin pelaku penjualan, kalau kita masuk target maka bayangan incentif dan aneka bonus sudah didepan mata. Karena itulah perangsang kerja, perangsang agar kita giat dalam bekerja.
Para motivator sering menggambarkan agar kita lebih kencang berlari atau berusaha, tempatkanlah ancaman di belakang kita. Seekor singa, harimau atau raksasam (giant) yang menakutkan buat kita akan mampu membuat kita berlari sekencang-kencangnya. Karena begitu kita terkejar, maka kita akan menghadapi bahaya yang tidak tanggung-tanggung yaitu maut. Jadi cuma ada satu pilihan yaitu berlari sekuat tenaga agar kita selamat.
Pilihan ke dua adalah mencontoh lomba balapan anjing yang menempà tkan tulang di muka anjing. Dengan harapan mendapatkan tulang maka sang anjing akan berlari kencang. Sementara posisi tulang dibuat sedemikian rupa agar tetap tidak terkejar. Akibatnya si anjing akan terus mengejar dan mengejar, dan tidak terasa telah mencapai garis finish.
Pilihan kedua ini banyak dipilih di dunia sales dan marketing. Agar team kita punya tantangan, maka boss biasanya memberikan target yang harus dicapai. Sebagai perangsangnya, maka siapapun yang mencapai target tertentu akan diberikan sejumah incentif uang. Kemudian yang terbaik masih akan mendapatkan bonus. Maka berlombalah para marketer dan salesman mengejar target tersebut. Job discription boleh beda, tapi tujuan tetap sama meraih target. Â Ibarat pelari yang mengejar garis finish. Bukan garislah yang mereka maui, tetapi medali sebagai lambang kehormatan yang mereka tuju.
Sebagai orang yang lama didoktrin seperti ini, saya sempat dibuat bingung oleh kebijakan sebuah Supermarket. Saya adalah supplier di Supermarket tersebut. Dimana saya menjual kuliner dengan cara "nebeng" dengan sistem bagi hasil penjualan bersih. Yang melakukan aktivitas melayani konsumen adalah tenaga SPG yang saya gaji. Dengan demikian Supermarket tersebut hanya menyediakan tempat dan sistemnya saja. Dalam hal ini yang berusaha menciptakan penjualan adalah para SPG saya. Semakin tinggi penjualan saya maka bagi hasil yang diterima oleh Supermarket tersebut akan semakin banyak.
Kebijakan yang saya anggap aneh adalah adanya klausul bahwa apabila saya menjual dan mencapai titik tertentu ( target tercapai ) maka saya dikenakan potongan tambahan. Artinya Supermarket tersebut meminta bagi hasil lebih banyak. Sebagai contoh, potongan dasarnya adalah 25 % ketika penjualan saya masih dibawah 100 %. Â Ketika penjualan saya telah mencapai 100% maka supermarket tersebut meminta tanbahan bagian lagi.
Akhirnya saya memahami pola pikir yang dipakai oleh Supermarket tersebut. Mereka memposisikan sebagai pembeli dari barang saya. Sehingga wajar ketika mampu membeli dalam jumlah tertentu maka akan minta potongan atau discount tertentu. Misalnya ketika deal dengan supplier sabun, mereka memasang kontrak 1 milyar untuk 1 tahun. Apabila Supermarket tsb mampu membeli lebih darim1 milyar maka, meminta discount tambahan. Hal ini dapat dipahami.
Untuk supplier kuliner, yang berjuang mencapai target adalah suppliernya, lewat kinerja SPG nya. Supplier kuliner menyediakan produk, memproses sehingga tersaji di hadapan konsumen. Apabila ada barang rusak maka masih menjadi tanggungan supplier. Pendek kata kontribusi dari Supermarket tersebut hanyalah menyediakan tempat dan fasilitas. Sistem ini yang biasa kita kenal sebagai titip jual / konsinyasi/ titip jual. Â Berbeda jauh dengan sistem beli putus dimana barang yang rusak bukan karena expired menjadi tanggungan Supermarket.
Beberapa supplier yang sudah pengalaman selalu mencari celah agar penjualannya tidak melewati target yang ditentukan oleh Supermarket. Caranya target yang diterima harus dibreak down menjadi target bulanan. Kemudian dihitung berapa modal, biaya gaji SPG, resiko barang rusak, harga jual konsumen dan potongan dari Supermarket. Harga nett yang diterima bisa dipakai untuk menperhitungkan apakah jika mencapai target penjualan dan mendapatkan potongan tambahan, masih untung atau rugi. Kalau ada kemungkinan rugi maka harus pintar-pintar mengatur omset. Bisa dengan memperlambat penyediaan stok atau dengan cara tidak semua toko dalam jaringan Supermarket itu diisi.
Apakah ada yang merugi dengan taktik ini ? Â Tentu saja kedua-duanya akan merugi, karena sales tidak dapat betkembang. Akibatnya profit yang didapat tidaklah optimal. Toko atau department penjualan memerlukan omset besar demikian juga suppliernya. Tetapi di sisi lain supplier "terancam" terkena potongan tambahan manakala penjualannya mencapai target.
Kenapa hal ini bisa terjadi ? Dalam management National Chain Supermarket, ada departemen merchadiser atau buyer yang bertugas membina dan mengurusi supplier, termasuk menentukan target. Department ini biasanya terpisah dari department penjualan  di dalam toko. Buyerlah yang menentukan target ini.  Masalah sering timbul, karena penentuan target hanya sepihak oleh buyer. Dan dasarnya hanyalah history penjualan tahun lalu dalam rupiah, bukan dalam unit. Target ditentukan tanpa meminta pertimbangan dari department penjualan toko dan suppliernya.