Mohon tunggu...
Sri Mulyani
Sri Mulyani Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Ibu rumah tangga yang mengikuti berita terpopuler

ibu rumah tangga yang hobby menulis...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Guru Olahraga

27 November 2019   00:04 Diperbarui: 27 November 2019   00:12 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi yang gaduh

Bu guru yang mengajar pelajaran olahraga baru turun dari angkot. Murid-muridnya berhamburan berlari menuju gerbang sekolah,  berebutan hendak bersalaman. Bu guru mengodekan tangan melarang mereka melampaui pembatas pagar. Mereka patuh, langsung berhenti, tak urung akhirnya mereka nyaris bertubrukan dan saling dorong.

Pemandangan itu terjadi setiap hari. Murid-murid menanti guru paling mungil bersuara cempreng itu di halaman sekolah. Guru-guru yang lain juga ada yang berbarengan datangnya,  tetapi mereka disambut sekedarnya saja,  berbeda dengan bu guru olahraga ini, semua antusias menantinya.

Lain halnya jika air pasang,  anak-anak tidak ada yang berada di halaman. Sekolah yang berada di wilayah jalur pantai itu digenangi air setinggi betis anak-anak. Mereka cukup berdiri termangu menanti bu guru olahraga di teras kelas. Pesan bu guru,  kalau ada yang berani melanggar bermain di halaman, dilarang ikut bermain kasti selama dua minggu.

Itu hukuman yang cukup berat menurut mereka. Apalah artinya hadir di sekolah kalau hanya jadi penonton sepanjang permainan? Lebih baik tidak hadir,  pura-pura sakit, berkirim surat saja,  itu lebih menyenangkan, daripada merasa diejek oleh tingkah teman-teman yang sedang kegirangan?

Anak-anak seperti berebut makanan, ingin bersalaman lebih dulu. Bukan masalah walau tangan bu gurunya bau, bekas memegang uang ongkos angkot tadi. Uang yang sudah berkelana dari puluhan, bahkan ratusan tangan itu, jelas berbau tidak enak.

Belum lagi kalau bu guru sempat singgah ke warung membeli beberapa keperluan dapur, bau bercampur-campur tidak mengurangi ketakziman mereka kala bersalaman. Ah,  murid-murid kelas 1 SD,  manalah hirau mengendus bebauan di tangan bu gurunya,  bisa bersalaman saja mereka bahagianya bukan kepalang.

Bu guru menyambut tangan murid-muridnya sambil terus mengomentari penampilan mereka. Selalu ada yang kurang. Ada yang bajunya tidak disetrika, kukunya panjang dan jorok, gigi kurang bersih, ada pula yang terlihat seperti orang belum mandi.

Wajah-wajah polos itu tertawa-tawa saja sembari saling tunjuk teman-temannya. Sampai di rumah nanti dilaporkan pada mamak. Kalau mamak lupa atau tidak sempat membersihkan, tidak ada pilihan lain, bu guru akan melihat pemandangan yang nyaris sama keesokan harinya.

Bu guru olahraga tergopoh menuju kelas,  meletakkan barang-barang bawaannya ke lemari di depan bagian sudut. Plastik berisi cabai, bawang, sayuran dan ikan, diletakkan di rak paling bawah. Sebelumnya tidak lupa,  ia mengikat ujung plastik lebih kuat agar tidak meruarkan bau tak sedap. Terutama aroma amis ikan.

Bu guru menggamit sapu yang teronggok di samping lemari. Cekatan sekali tangannya merapikan meja kursi dan menyapu lantai. Diserahi menjadi wali kelas untuk anak kelas 1 SD,  tentulah gurunya harus merangkap segala rupa pekerjaan guru sekaligus mamak bagi mereka.

Soal membersihkan seluruh ruangan kelas tidak perlu dibahas lagi, sebab urusan kebelet  mereka pun bu guru mestilah siaga membantu. Belum lagi membujuk yang sedang merajuk, membukakan pembungkus jajanan pun anak-anak kecil itu masih perlu dibantu. Pokoknya memang harus dobel-dobel sabar dan tenaga.

Sigap bu guru membersihkan ruangan, anak-anak diminta jangan masuk kelas dulu. Murid-murid perempuan rajin memperhatikan cara ibu gurunya menyapu, mungkin kagum, bu guru sungguh gesit gerakannya. Murid laki-laki bersikap masa bodo saja, saling kejar-kejaran, kalau bisa bu guru menyapunya jangan cepat selesai.

"Ayo, ayo masuk kelas, jangan ada yang berkeliaran lagi!" Dengan nafas memburu bu guru memberi intruksi. Anak-anak bergegas masuk, menuju bangku masing-masing. Semua melipat tangan di meja, menunggu perintah bu guru.

Persis di tengah-tengah kelas bu guru berdiri menyampaikan berita. Hari ini ia akan mengajarkan senam otak. Sebenarnya gerakan senam ini baru diketahui bu guru lewat channel youtube. Dikhususkan untuk usia menjelang separuh baya guna mencegah pikun. Menurutnya tidak masalah kalau diterapkan pada murid-muridnya. Tujuannya apalagi kalau bukan agar mereka bisa konsentrasi dalam belajar.

Sebenarnya bu guru juga belum hafal seluruh gerakannya. Bermodal nekat sembari berharap murid-muridnya belum pernah melihat, ia mulai memberi komando pada muridnya agar berbaris.

"Bu, kok nggak di halaman, kan sempit?" Seorang murid perempuan berambut pendek bertanya dengan berani.

"Ayo kita rapatkan saja meja dan bangkunya, nggak apa-apa kita mulai di kelas dulu!" Bu gurunya bertahan.

Sebenarnya alasan terpentingnya karena bu guru belum seberapa mahir. Ia takut dilihat oleh guru-guru  dan murid lainnya. Tentu aneh bila gerakannya tidak teratur dan berulang. Apalagi mengajar senam, biasanya tidak lebih dari delapan jenis gerakan yang diulang-ulang sampai selesai.

Murid-murid manut, sebentar gedubrakan mendorong-dorong meja kursi, beberapa detik kemudian mereka sudah bergembira ria mengikuti gerakan bu gurunya.

Senam otak tidak berpindah-pindah posisi kaki, hanya tangan kanan dan kiri dilatih berkoordinasi dengan serentak. Tetapi karena bu guru masih terbata gerakannya, alhasil gerakan tangannya juga masih tertukar-tukar.

Anak-anak tidak protes meskipun cuma dalam hati,  manalah mereka tahu salah benarnya. Tetapi gerakan mereka jadi membingungkan sehingga bersenggolan dengan teman di sebelah. Suasana jadi agak sedikit gaduh. Bu guru masih lanjut memberi contoh gerakan-gerakan senam sambil sesekali meminta murid-murid untuk fokus.

Salah seorang murid tiba-tiba menangis kencang, bukan karena merasa kesakitan, melainkan panik dan malu. Kaus kaki dan sepatunya basah, tidak sempat meminta izin pada bu guru. Teman-teman yang lain berhenti senam, membisu memandang bertukar-tukar pada bu guru dan teman yang menangis tadi.

Anak-anak memang tidak boleh ada yang mengejek kalau ada kejadian seperti ini. Itu anjuran keras dari bu guru. Siapa yang berani mengejek teman yang sedang kesusahan,  dihukum tidak boleh main kasti selama dua minggu. Hukuman maha menakutkan berlaku untuk semua kesalahan.

Bu guru mendadak lemas, pekerjaan berat sudah menanti, padahal baru saja membereskan seluruh ruangan. Peluh di tubuhnya juga belum sempat diseka.

Dengan wajah merah menahan jengkel, ia menuju kamar mandi sekolah, lupa meminta murid yang pipis di celana tadi untuk mengikutinya. Bu guru kembali ke kelas dengan menenteng peralatan pel.

"Loh,  kok masih berdiri di situ?" Wajah mungil  memelas itu menatap bersalah padanya. Seketika rasa jengkel menguap begitu saja,  ia teringat wajah anaknya di rumah. Wajah yang menyuguhkan tanda penyesalan.

Bu guru mengambil persediaan seragam di lemari. Seragam cadangan memang sudah disediakan di kelas, khusus untuk anak kelas 1 dan 2 saja. Tujuannya memang untuk kondisi darurat seperti ini.

Digamitnya murid tadi menuju kamar mandi, rasa jengkelnya berganti iba.

"Bisa ganti baju sendiri, kan?" Tanya bu guruenunggu di depan pintu kamar mandi.

Murid tadi mengangguk risau, tangan kecilnya berusaha membuka rok dan celana pendek selutut. Terlihat bagian pahanya penuh memar biru. Bu guru terkesiap.

"Dicubit siapa?" Bu guru sudah paham, biru lebam itu bekas cubitan jari. Tidak perlu menduga yang lain, hal semacam itu dulu sering ia terima kalau telat pulang. Tetapi jumlahnya tidak sebanyak milik muridnya tersebut.

"Bapak dan mamak!" Jawab si murid tenang. Tangan mungilnya memakai rok yang diberikan oleh bu guru.

Bu guru berdebar, tubuhnya mendadak berkeringat dingin. Ia juga seorang ibu, tetapi belum pernah melakukan hal sadis macam begini terhadap dua anak lelakinya. Padahal tingkah mereka sangat menguras tenaga untuk perkara duduk diam.

"Kenapa?" Suara bu guru gemetar menahan geram.

"Kalau ketauan tindih-tindihan gak pakek celana sama abang!" Jawabnya polos.

Murid tadi berteriak-teriak memanggil temannya. Bu guru tergeletak pinsan di depan pintu kamar mandi.

Sri Mulyani

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun