Sejuk embun tidak terasa di pagi yang indah di sebuah perkotaan. Manusia-manusia yang sudah sibuk sejak tadi, iring-iringan memenuhi jalan yang mulai macet. Menjadi rutinitas pagi yang tak terlupakan. Matahari yang mulai naik, menjadi ancaman bagi manusia-manusia itu.
Ini termasuk menjadi rutinitas seorang lelaki perantau, yang sudah 4 tahun tidak pernah pulang kampung ke ranah Minang, karena urusan pekerjaan yang tidak pantas untuk di tinggalkan ujarnya. Ya sapaan akrab di kampung nya yang sering di panggil Buyung. Tetapi sesampainya di kota nama itu tidak pernah terdengar. Ari, teman-teman sekantornya memanggil ia dengan nama Ari.
"Duuuh, ini sudah sengat telat"
Ari bergumam di dalam sebuah mobil sport dan sedari tadi selalu mengamati gerak arloji di tangannya.
Tak heran jika budaya Minang ya sudah lama terlupakan,hingga dari cara bicaranya pun sudah tak terlihat lagi bahwa ia orang minang. Ntah mengapa ia tampak lebih nyaman tinggal di kota yang penuh dengan ancaman besar, kemacetan disetiap hari, dan tentunya jauh dari sanak familinya. Tetapi, itu tidak menjadi hambatannya untuk terus berkarir hingga akhirnya selama 4 tahun ia belum pernah kembali ke kampung nya.
Sudah sejam di dalam kemacetan, akhirnya Ari menancap gas mobilnya dengan kencang. Ia hanya berfikir supaya tidak telat sampai kantor,dan tidak lagi dimarahi manajernya.
" Hei, kau telat lagi Ari?"
Tanya seorang gadis cantik,yang memakai rok span dan baju kemeja serta rambut sebahu yang terurai lurus. Ani, gadis cantik yang sudah lama memendam rasa kagumnya kepada Ari. Tetapi ia tak berani untuk mengutarakannya, karena ia sadar bahwa seorang wanita hanya bisa menunggu jika mengagumi dan menyukai seorang lelaki.
" Duuuuh, ia nih. Aku kejebak macet tadi"
"Aku duluan ya,ntar di marahi manajer"
Jawab Ari singkat, dan langsung bergegas ke ruangannya.
" Emang produk Minang gak pernah gagal, dari belakang aja udah tampan banget. Gimana gue gak naksir"
Gumam Ani, sambil menatap kagum ketampanan Ari yang sedang buru-buru.
"Kriinggg"
Suara telepon berdering di ruangan Ari, tetapi ia tak menghiraukannya dan terus bekerja. Sampai berulang-ulang telepon berbunyi tak di hiraukannya juga. Untuk kesekian kalinya berdering, akhirnya Ari mengangkat telepon itu dengan kesal.
"Assalamualakum, Yung"
Suara lelaki tua dari telepon yang Ari angkat.
"Waalaikum salam, yah. Adoh apo yah?"
"Baa lamo Bana diangkek telfon nyo?"
"Maaf yah, Ari Sadang Marajo jadi ndak tadanga suaro telfonnyo"
"sasibuk apapun, dicaliak lah telfon tu kalau Ado yang menelfon Jan dibiarkan"
"Ibu ang sadang sakik di kampuang Inyo rindu bio basobok Samo Ari. Alah ampekl tahun ang Ndak pulang, pulang lah nak"
"Iya yah,Ari sibuk Marajo disiko. Ndak bisa di tinggalan karajo ko yah"
"Sasakali pulang lah nak, ayah tau biaya pesawat maha tapi, alah ampek tahun ndak pulang pasti alah banyak pitih nan ang kumpuan untuk pulang"
"Iyo yah,Ari usahoan untuk pulang"
"Yo lah,jago diri elok-elok. Jan lupa pulang ka kampuang halaman"
"Assalamualaikum nak"
"Waalaikumsalam, yah"
Di tengah kesibukannya, Ari selalu lupa menanyakan kabar semua keluarga nya yang ada di kampung terutama Ibunya yang sudah sakit-sakitan. Memang ia tak pernah lupa untuk mengirimkan uang kepada keluarga nya. Tetapi, apalah daya seorang Ibu yang hanya ingin anaknya pulang. Tak penting baginya seberapa banyak uang yang diberikan,ia hanya merindukan sang buah hati yang ia rawat sedari kecil.
Langit tampak mulai gelap,dan jam telah menunjukkan pukul 17:00 sore. Pekerjaan kantor telah selesai untuk hari ini. Ari dan Ani makan sore disebuah kafe yang cukup terkenal. Mereka duduk berhadapan dan asik berbincang masalah pekerjaan dan lainnya. Ditengah perbincangan mereka Ani menanyakan kabar keluarga Ari, ia tau bahwa Ari sudah 4 tahun tidak pulang kampung.
"btw, kabar ortu kamu gimana ri. Sehat kan? Udah lama loh, kamu ga pulang kampung. Apa ga rindu gitu?"
" Ibu aku lagi sakit ni, biasalah namanya juga udah tua"
Jawab Ari singkat,sambil meminum kopi hangat yang dipesannya.
"ga ada niatan pulang kampung gitu? 4 tahun bukan waktu yang singkat Lo. Mungkin ibu kamu kangen,makanya sampe sakit"
Bujuk Ani menyakinkan Ari,agar pulang kampung
"iya, besok-besok kalau ada waktu aku pulang"
Ani hanya menggelengkan kepala mendengar jawaban Ari yang tampak sama sekali tak peduli.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan. Ibu Ari yang di kampung,belum juga sembuh dan Ari juga belum pernah pulang. Kenikmatan dunia kota dan kesibukan Ari melalaikannya dari tanah kelahiran dan orang tuanya. Ia selalu sibuk, sibuk dan selalu sibuk. Sampai akhirnya Ibunya sudah sebulan koma dan Ari memutuskan untuk pulang kampung Minggu depan.
Nasi sudah menjadi bubur,semuanya telah terlambat.
Ari yang berniat untuk pulang Minggu depan, dipercepat karena Ibunya yang sudah tiada. Kesibukan nya membuat ia lalai terhadap panutannya, seorang wanita yang sangat berjasa dalam hidupnya.
Dalam perjalanan ia hanya termenung,ingin menangis tetapi terasa sesak di dadanya hingga ia hanya dapat termenung dan menyesali segala perbuatannya.
Sesampainya di kampung, Ari menangis sejadi-jadinya ia hanya bisa melihat Ibunya yang sudah terbaring tak bernyawa. Ia sangat menyesali perbuatannya yang sangat merugikan dirinya, kehilangan seorang Ibu untuk selamanya. Hanya demi pekerjaan yang tak pernah memuaskannya.
Karena kejadian itu, Ari tidak ingin kembali ke kota. Dan hanya tetap tinggal di kampung sebagai seorang petani. Biarlah tidak bergelimpangan harta tetapi dekat dangan sanak keluarga,dari pada jauh seorang diri dengan harta yang berlimpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H