Mohon tunggu...
S.Melani AS
S.Melani AS Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

explore the world through writing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Karya Sastra Bergenre Romantis di Kalangan Gen Z dan Penggunaan Kata 'Anda' dan 'Sampeyan'

19 Oktober 2024   17:10 Diperbarui: 19 Oktober 2024   17:18 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sastra dan bahasa merupakan dua hal yang selalu berdampingan. Di era digital ini sastra yang paling diminati adalah sastra yang bergenre romantis. Sastra bergenre romantis ini paling digemari khususnya dikalangan generasi Z yang menjadi masanya mengenal cinta. Generasi ini membaca sastra dengan beragam tujuan mulai dari sebagai hiburan atau mengisi waktu luang sampai untuk mendapat wawasan yang lebih jauh lagi tentang sastra. Mereka sudah paham dan melek akan teknologi sehingga sastra yang bergenre romantis ini banyak peminatnya dan bahkan para generasi ini sangat tinggi antusiasnya dalam membaca sastra genre ini. Oleh karena itu, karya sastra yang bergenre romantis laris di pasaran.

Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa sastra dan bahasa itu selalu berdampingan, maka kurang rasanya kalau tidak membahas sisi linguistiknya. Dalam tulisan ini juga akan membahas linguistik tentang penggunaan istilah yang cukup berpengaruh terhadap etika kesopanan yaitu penggunaan istilah 'anda' dan 'sampeyan'. Jadi dalam tulisan ini penulis akan memaparkan isu-isu terkini mengenai sastra dan linguistik yaitu tentang karya sastra romantis dikalangan generasi Z dan juga penggunaan istilah 'anda' dan 'sampeyan'.

Hal pertama yang akan dibahas terlebih dahulu adalah karya sastra yang bergenre romantis dikalangan generasi Z. Sebelum mengulas lebih lanjut kita akan menjelaskan apa itu genre romantis? Genre Romantis merupakan salah satu genre yang di dalamnya mengisahkan suatu hubungan asmara atau cinta dan genre yang paling banyak peminatnya. Kata "romantik' sendiri berasal dari istilah "romans" yang artinya sebuah prosa atau narasi puitis kepahlawanan yang berasal dari sastra abad pertengahan/romantik. Pada masa itu genre ini berkaitan dengan alam yang mencakup kegiatan manusia dalam bentuk bahasa, adat istiadat, dan tradisi yang dikondisikan oleh alam. Namun, menjelang akhir abad, romantis diasosiasikan dengan emosi, perasaan, keaslian, dan subjektivitas.

Karya sastra yang bergenre ini disukai oleh generasi Z karena usia mereka pada umumnya masih remaja. Tentunya di usia remaja pembahasannya tidak akan pernah lepas dengan kisah cinta. Kemudian perkembangan teknologi juga turut serta dalam mempromosikan karya sastra. Bahkan sekarang sudah banyak aplikasi maupun website gratis untuk membaca novel. Mereka tidak perlu lagi mengeluarkan banyak uang untuk membeli buku.

Sastra digital pada era ini dikenal dengan sebutan sastra cyber. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa dengan adanya kemudahan ini dapat mempermudah bagi para sastrawan lama maupun baru untuk menampilkan karya-karya sastranya. Namun hal itu pun tidak lepas dari isu-isu bahwa dengan adanya platform atau web yang mempermudah untuk menampung sebuah karya sastra maka di sana batasan-batasan tentang sastra. Bahkan jati diri sastra dan esensinya juga turut hilang karena terlalu luas dan banyaknya karya sastra itu sendiri.

Kemudahan semua orang untuk menulis dan mengakses sebuah tulisan yang berjenis sastra ini tanpa penyaringan membuat kita harus lebih terliti lagi. Semua karya sastra yang kita baca tidak semuanya bisa menjadi tuntunan bagi kita. Mungkin banyak karya sastra yang bertebaran di internet maupun di aplikasi tetapi apakah karya sastra tersebut berkualitas atau tidak. Apalagi karya sastra yang bergenre romantis. Dalam genre tersebut terkadang tidak semua usia dapat membaca karya sastra tersebut. Karena genre romantis karya sastra zaman dahulu berbeda dengan zaman sekarang seperti yang telah dielaskan pada paragraf di atas.

Hal ini tentunya tidak lepas dari peran pemerintah yang bisa dikatakan kurang perhatian terhadap perkembangan sastra. Platform sekarang yang digunakan sebagai menulis dan membaca karya sastra mungkin tidak lagi membicarakan kualitas namun berdasarkan seberapa banyak peminat terhadap karya sastra tersebut. Di sinilah yang menjadi tantangannya yaitu konten yang disuguhkan dalam karya sastra tersebut. Jangan sampai sastra yang dibaca membuat pembacanya terjerumus ke dalam hal yang tidak baik.

Selanjutnya penggunaan kata ganti orang kedua yang sangat banyak penyebutannya dalam bahasa Indonesia, seperti engkau, kamu, dan anda. Tetapi, kapan kata-kata tersebut digunakan? Apalagi Indonesia sangat terkenal dengan tatakramanya. Penggunaan kata engkau dan kamu masih memiliki beberapa kecacatan. Misalnya ketika dipergunakan untuk orang yang lebih tua 'apakah kamu akan pergi?' atau 'apakah engkau akan pergi?' penggunaan kata kamu dan engkau untuk orang yang lebih tua terkesan kurang sopan dan mungkin orang yang kita sapa pun akan merasa tersinggung. Oleh karena itu, banyak yang mengganti dengan sebutan ibu atau bapak.

Kata ganti orang kedua atau istilah ini di Indonesia memiki banyak variasinya dan ada juga yang menggunakan kata 'anda' yang terkesan lebih sopan. Namun kata ganti orang kedua ini tidak berhenti di sini, ada juga yang menggunakan kata 'sampeyan', misalnya di daerah Jawa. Kata 'sampeyan' sendiri berasal bahasa Jawa yang artinya anda. Meski demikian kata 'sampeyan' tidak asing ditelinga orang Indonesia. Dalam tulisan ini penulis akan memaparkan lebih detail mengenai penggunaan istilah antara 'anda' dan 'sampeyan'.

Kata 'anda' sendiri merupakan usulan dari kapten Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang bernama Sabirin. Sabirin sendiri mengambil kata 'anda' dari kata 'ananda' atau 'anakda' yang awalnya hanya digunakan untuk anak-anak raja. Meski awalnya terkesan aneh namun Sabirin berpendapat jika digunakan setiap hari maka akan terbiasa.

Sabirin mengusulkan kata 'anda' bukan tanpa alasan. Ia merasa risih dengan penyebutan kata ganti orang kedua dengan bahasa asing seperti ik, jij, jullie, dan U (bahasa Belanda) dan juga kata ente dan ane. Sabirin ingin ada penyebutan kata ganti orang kedua yang bisa digunakan untuk semua usia seperti 'you' dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu ia mencari di bahasa daerah untuk pembendaharaan katanya dan juga merujuk pada Kamus Moderen Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Grafica Djakarta (tanpa tahun).

Studi mengenai kata sapaan sudah sedikit dikaji, menggunakan dispensasi Brown & Ford (1961) yang memberikan pandangannya tentang aturan semantik yang berkaitan dengan sapaan pada bahasa Inggris Amerika menggunakan berbagai macam data. Mereka menemukan bahwa sapaan yang paling sering digunakan adalah nama depan. Bentuk sapaan ini berkaitan dengan kesopanan diberbagai negara dan terlihat mencolok di berbagai skema dalam teori kesopanan yang diungkapkan oleh Brown dan Levinson (1987). Aturan kesopanan juga tidak bisa disamaratakan disetiap tempatnya karena aturan ini memiliki banyak ragamnya diberbagai budaya.

Istilah sapaan orang kedua ini memang tetap saja popular dalam kajian sosiolinguistik. Karena penggunaan kata tersebut menentukan jarak antara pembicara dan pendengar. Misalnya kata 'anda' ini memang sangat formal sehingga ketika menggunakan kata tersebut seperti ada jarak antara pembicara dan pendengar dan tidak cocok digunakan ketika sedang berbicara dengan orang yang lebih muda. Kemudian dalam kasus lain kita sering mendengar orang mengucapkan sapaan dengan nama gelarnya. Hal itu menunjukkan bahwa status dari penerima lebih tinggi dari pembicara.

Dalam webinar yang saya ikuti yang mengangkat tema tentang isu-isu terkini terkait sastra dan linguistic di era digitar dalam penggunaan kata 'anda' dan 'sampeyan' cukup terlihat perbedaannya. Beberapa siswa/mahasiswa menggunakan kata 'anda' karena kata tersebut lebih formal dalam dunia pendidikan. Kemudian penggunaan kata 'anda; juga merupakan bentuk penghormatan kepada orang yang lebih tua. Terakhir kata tersebut digunakan karena dirasa sopan dan cocok dari pada menggunakan kata 'sampeyan'.

Dalam kasus penggunaan kata 'anda' dan 'sampeyan' biasa digunakan oleh mahasiswa Probolinggo ketika menyapa dosennya. Namun hal tersebut tidak wajar baik dari segi standar penggunaan bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Karena lebih umum jika mereka menggunakan kata 'bapak' atau 'ibu'. Hal ini tidak bisa dikatakan biasa dalam fenomena linguistik.

Penggunaan kata 'anda' ini memang sebagian besar digunakan oleh para siswa/mahasiswa untuk berkomunikasi dengan guru atau dosen. Hal tersebut telah dipaparkan pada paragraph sebelumnya bahwa istilah sapaan 'anda' dianggap lebih sopan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata 'anda' diartikan sebagai bentuk sapaan yang tidak membedakan status, usia, dan kedudukan orang yang diajak bicara. Namun hal tersebut tentunya berbeda dalam budaya Jawa. Dalam budaya Jawa dianggap kurang tepat dan kurang sopan. Karena dalam budaya Jawa yang muda harus menghormati orang yang lebih tua terutama orang tua, guru atau dosen.

Untuk penggunaan kata 'sampeyan' sendiri para siswa/mahasiswa ketika menggunakannya untuk berkomunikasi dengan guru atau dosen sebagai bentuk dari ekspresi kesopanan mereka. Selain itu, penggunaan kata 'sampeyan' lebih menunjukkan keinformalan. Jadi kata ini lebih sering digunakan ketika bertemu dengan orang yang sudah kita kenal dan cukup dekat atau dengan orang yang sebaya, namun tetap berusaha untuk menghormatinya. Namun tidak jarang juga penggunaan 'sampeyan' untuk mereka yang lebih muda. Hal ini digunakan untuk mengajarkan kesopanan kepada yang lebih muda dengan harapan bahwa mereka akan dihormati sebagai balasannya. Dengan demikian mereka yang lebih muda akan lebih sungkan kepada pembicara. Sehingga pembicara akan menerima lebih banyak rasa hormat dan kesopanan dari yang lebih muda.

Istilah 'sampeyan' ini merupakan krama madya (tingkatan bahasa Jawa yang berada ditengah-tengah). Biasanya krama madya ini digunakan untuk orang yang sebaya maupun lebih muda dari prmbicara. Definisi lain terkait hal ini adalah bahasa Jawa yang tingkatannya berada di bawah krama inggil untuk orang yang seumuran tetapi mencoba menunjukkan rasa hormat.

Jadi dapat dikatakan bahwa kedua istilah tersebut tidak bisa menjadi tolak ukur kesopanan seseorang. Penggunaan kata tersebut dipengaruhi juga oleh budaya dan tempat. Nilai sopan santun didasarkan pada konteksnya. Kita tidak bisa menilai orang berdasarkan norma dan budaya kita sendiri karena setiap tempat memiliki cara hidup dan komunikasi yang berbeda.

Isu-isu sastra dan linguistik di atas tentunya akan terus muncul seiring berkembangnya zaman dan peradaban. Karya sastra pun turut berkembang begitu juga dengan linguistik. Kemudahan dalam menampilkan karya sastra memberikan dampak yang positif dan negatif. Apalagi dengan karyanya yang banyak dan tidak tersaring. Khususnya untuk generasi Z yang menyukai karya sastra bergenre romantis. Hal ini harus disadari generasi Z apakah karya sastra yang mereka baca akan berdampak positif atau negatif.

 

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun