Ada beberapa pemikiran dari Al-Ghazali yang dianggap sebagai faktor yang memicu kemunduran dunia Islam. Pertama, pemikiran Al-Ghazali dalam kitab Ihya'-nya mengatakan bahwa:
"Ilmu pengetahuan itu ada yang fardhu ain dan ilmu yang fardhu kifayah (dari sisi kewajibannya); ilmu syariah (ilmu agama) dan ghairu syariah (non-agama dari sisi sumbernya); ilmu terpuji dan tercela (dari sisi fungsi sosialnya)."
Konsep klasifikasi ilmu pengetahuan menurut Al-Ghazali ini menimbulkan pemahaman tentang dualisme, yaitu ilmu pengetahuan dibagi menjadi dua bagian yang terpisah, yaitu ilmu agama dan ilmu dunia. Namun, sering kali konsep ini disalahartikan sehingga dianggap sebagai pembatasan kebebasan manusia dalam mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Beberapa orang yang tidak setuju dengan pandangan Al-Ghazali berpendapat bahwa konsep ini mengabaikan pentingnya rasionalisasi dalam memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan perkembangan zaman dan budaya manusia. Oleh karena itu, Al-Ghazali sering dituduh sebagai penyebab kemunduran kebudayaan umat Islam. Menurut mereka, karena konsep Al-Ghazali, umat Islam di Timur kurang maju dalam peradaban mereka, sementara di Barat, seperti di Spanyol, Andalusia, dan Cordoba, Islam lebih maju.
Pendapat yang berseberangan dengan Al-Ghazali menekankan pentingnya kebebasan dalam mencari pengetahuan dan penggunaan rasionalitas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka berpendapat bahwa membatasi ilmu pengetahuan hanya pada teks agama akan menghambat kemajuan intelektual dan perkembangan kebudayaan. Sebaliknya, mereka menganjurkan pendekatan yang lebih terbuka dan rasional dalam memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan sesuai dengan tuntutan zaman dan kebudayaan manusia.
Polemik ini mencerminkan perbedaan pandangan mengenai peran agama dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Ghazali memandang bahwa ilmu pengetahuan harus didasarkan pada otoritas agama dan teks-teks agama, sementara pandangan yang kontra berpendapat bahwa ilmu pengetahuan perlu memiliki ruang untuk eksplorasi, rasionalisasi, dan perkembangan yang lebih maju.
Selanjutnya, Al-Ghazali mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan terbagi menjadi dua. Pertama, ada pengetahuan rasional yang merupakan hal alami bagi manusia. Kedua, ada pengetahuan tradisional, seperti agama. Bagi Al-Ghazali, pengetahuan rasional berhubungan dengan persoalan dunia, seperti politik, ekonomi, dan sosial, sedangkan pengetahuan tradisional berkaitan dengan kepentingan manusia di akhirat. Menurut Al-Ghazali, kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sejati bagi manusia, sehingga pengetahuan yang diutamakan adalah pengetahuan agama.
Al-Ghazali melihat bahwa pemikiran filsafat pada zamannya telah menyalahi agama. Oleh karena itu, ia melakukan analisis terhadap tradisi filsafat yang ada. Dalam analisis dan pembacaan yang mendalam, Al-Ghazali menyimpulkan bahwa para filsuf memiliki empat jenis ilmu, yaitu ilmu pasti (matematika), logika, fisika, dan metafisika.
Menurut Al-Ghazali, kebanyakan keyakinan para filsuf dalam ilmu metafisika bertentangan dengan kebenaran, sedangkan ilmu logika kebanyakan berjalan dengan metode yang benar namun kesalahannya jarang. Dalam ilmu fisika, kebenaran dan kebatilan tercampur aduk, sehingga penilaian terhadap ilmu ini sulit dilakukan berdasarkan aspek yang dominan dan didominasi.
Al-Ghazali mengkritik dan mengungkapkan kesalahan dalam ilmu-ilmu ini dalam bukunya Tahafut al-Falasifah. Namun, dia hanya menganalisis tiga bidang ilmu, yaitu logika, metafisika, dan fisika, karena ketiga ilmu tersebut terkait erat dengan persoalan keagamaan. Al-Ghazali membahas logika secara singkat dalam buku Maqashid al-Falasifah dan secara mendetail dalam buku Mi'yar al-Ilmi. Ia menganggap logika sebagai alat untuk memahami orientasi buku dan menyarankan agar pembaca yang tidak memahami logika sebaiknya membaca buku standar ilmu (mi'yar al-ilmi) terlebih dahulu.
Setelah membahas logika, Al-Ghazali melanjutkan pembahasan tentang metafisika sebelum fisika. Ia melihat pentingnya metafisika dalam kritik filsafat yang ingin ia lakukan. Dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, Al-Ghazali membahas dua puluh masalah, dengan enam belas masalah mengenai metafisika dan empat masalah mengenai fisika. Dalam persoalan-persoalan ini, Al-Ghazali membagi perbedaan antara para filsuf dengan pemikir lainnya menjadi tiga kategori, terutama terkait dengan bahasa, hal-hal yang tidak terkait dengan agama, dan hal-hal prinsipil dalam agama.
Terdapat tiga ragam penilaian terhadap pemikiran filsafat menurut Al-Ghazali. Pertama, pemikiran filsafat yang dikategorikan sebagai pemikiran bid'ah. Al-Ghazali berpendapat bahwa persoalan ini tidak perlu dipersoalkan. Kedua, terdapat perbedaan pemahaman tentang hal-hal yang tidak berkaitan dengan agama, seperti teori filsafat mengenai gerhana bulan. Ketiga, terdapat perbedaan yang terkait dengan hal-hal prinsip dalam agama, seperti keberawalan alam, sifat-sifat pencipta, dan kebinasaan jasad dalam Tahafut al-Falasifah. Berikut lebih jelasnya:
1. Al-Ghazali mengkritik pandangan bahwa dunia tidak memiliki permulaan di masa lalu dan tidak diciptakan dalam suatu waktu tertentu. Al-Ghazali berpendapat bahwa pandangan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa Allah menciptakan dunia dalam suatu waktu tertentu.
2. Al-Ghazali menentang pandangan bahwa pengetahuan Tuhan hanya mencakup hal-hal universal dan tidak mencakup detail-detail tertentu. Menurut Al-Ghazali, pandangan ini tidak sejalan dengan ajaran Islam yang menyatakan bahwa pengetahuan Allah mencakup segala hal, baik yang universal maupun yang detail.
3. Al-Ghazali menolak pandangan bahwa setelah kematian, jiwa manusia tidak akan pernah kembali ke tubuh mereka. Menurut Al-Ghazali, pandangan ini bertentangan dengan ajaran Islam yang menyatakan adanya kehidupan setelah kematian dan kebangkitan jasmani.
Al-Ghazali menilai pemikiran filsafat dengan tiga ragam penilaian tersebut. Pertama, pemikiran filsafat yang dianggap bertentangan dengan agama dan dianggap sebagai bid'ah tidak perlu menjadi perhatian. Kedua, hal-hal yang tidak berkaitan dengan agama seharusnya tidak mendapatkan perhatian yang berlebihan. Ketiga, persoalan yang terkait dengan prinsip-prinsip agama harus menjadi fokus utama dalam kritik dan penilaian terhadap filsafat.
Dalam karyanya, Al-Ghazali tidak hanya mengkritik pemikiran filsafat, tetapi juga memberikan penjelasan dan pengungkapan kesalahan dalam ilmu logika, metafisika, dan fisika. Ia menunjukkan bahwa banyak pemikiran dalam ilmu-ilmu tersebut yang bertentangan dengan kebenaran dan agama. Namun, Al-Ghazali juga mengakui bahwa terdapat beberapa aspek yang benar dan dapat diterima dalam ilmu-ilmu tersebut.
Secara keseluruhan, Al-Ghazali berpendapat bahwa pengetahuan yang diutamakan adalah pengetahuan agama, karena kehidupan akhirat adalah kehidupan yang sejati bagi manusia. Ia melihat bahwa pemikiran filsafat pada masanya banyak yang menyimpang dari kebenaran agama, sehingga ia melakukan analisis dan kritik terhadap ilmu-ilmu filsafat. Meskipun demikian, Al-Ghazali juga memberikan pengakuan terhadap beberapa aspek yang benar dalam ilmu-ilmu tersebut.
Pemaparan pemikiran/argument Al-Ghazali di atas dianggap sebagai penyebab kemunduran Islam karena beberapa pemikirannya dalam kitab Ihya Ulumuddin (The Revival of Religious Sciences) dan Tahafut al-Falasifah (The Incoherence of the Philosophers) telah dianggap membatasi perkembangan ilmu pengetahuan dan meredupkan kemajuan kebudayaan umat Islam pada masa itu.
Namun demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa banyak faktor yang mempengaruhi kemunduran umat Islam. Salah satunya adalah umat Islam itu sendiri yang jumud, cinta dunia, tidak kreatif, dan sebagainya. Al-Ghazali hadir di saat Islam sudah mengalami kemunduran. Kemunduran Islam itu sendiri tidak terjadi sekaligus, tetapi secara perlahan. Ketika kemunduran itu terjadi, Al-Ghazali hadir dengan gagasan besar Ihya Ulumuddin yang menghidupkan kembali semangat beragama di tengah kemunduran umat Islam.
Meskipun secara konteks buku yang dikarang oleh Al-Ghazali tersebut memiliki klasifikasi terkait ilmu agama dan ilmu dunia, tetapi pada masa itu kitab tersebut merupakan sebuah pembaruan yang dibawa oleh Al-Ghazali di tengah kemunduran dunia Islam. Dari beberapa sumber yang saya baca, terkait pemikiran Al-Ghazali yang dianggap memicu kemunduran dunia Islam adalah bias karena ada beberapa bukti yang menunjukkan bahwa ketika Al-Ghazali hadir, filsafat dan sains masih tetap hidup, bahkan semakin berkembang. Banyak pemikir Barat yang terpengaruh oleh pemikiran Al-Ghazali, salah satunya yang terkenal adalah Thomas Aquinas. Buktinya adalah ajaran Thomas Aquinas mengenai Beatific Vision dan makrifah atau penyingkap melalui iman yang banyak mengambil ajaran mistik Islam dari pemikiran tasawuf Al-Ghazali. Oleh karena itu, menurut saya, pemikiran Al-Ghazali yang dianggap memicu kemunduran dunia Islam adalah sebuah pandangan yang bias.
REFERENSI:
Badriyah, M. (2011). Konsep Ilmu Pengetahuan. Jurnal Kamal Sudrajat, July, 1–7.
Mansur. (2015). Metode Kritik Nalar Filsafat. 24.
Munir, G. (2016). Kritik Al-Ghazālī Terhadap Para Filosof. Jurnal THEOLOGIA, 25(1), 143–158. https://doi.org/10.21580/teo.2014.25.1.341
Syofrianisda, S., & Abduh, M. A. (2017). Pengaruh Tasawuf Al-Ghazali dalam Islam dan Kristen. Jurnal Ushuluddin, 25(1), 69. https://doi.org/10.24014/jush.v25i1.2559
Tedy, A. (2016). Kritik Ibnu Rusyd Terhadap Tiga Kerancuan Berfikir Al-Ghazali. El-Afkar: Jurnal Pemikiran Keislaman Dan Tafsir Hadis, 5(1), 11–20.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H