Firdaus lahir dari keluarga miskin, dengan ayah yang hanya seorang petani sederhana. Ketika orang tuanya meninggal, pamannya membawanya tinggal di El Azhar. Malangnya, niat baik pamannya berubah menjadi mimpi buruk ketika ia mulai melecehkan Firdaus yang masih polos.
Pamannya kemudian menikahi putri gurunya, dan Firdaus dikirim ke sekolah oleh paman dan bibinya. Di sekolah, Firdaus menemukan pelipur laranya di perpustakaan, tempat ia mulai mencintai buku. Di sana, ia menyadari bahwa dunia dikuasai oleh laki-laki yang didorong oleh nafsu akan kekayaan dan seks. Setelah menyelesaikan sekolah menengah, Firdaus kembali ke rumah pamannya, hanya untuk menghadapi tekanan baru. Tanpa pekerjaan, ia dijodohkan dengan Syekh Mahmoud, seorang pria tua yang berusia 60 tahun. Di sana, Firdaus mengalami kekerasan dan penyiksaan hingga akhirnya melarikan diri.
Dengan tubuh penuh luka, Firdaus menemukan dirinya di jalan raya, kehausan dan kelaparan. Ia berhenti di sebuah warung kopi milik Bayoumi, yang awalnya tampak baik namun ternyata juga merupakan serigala berbulu domba. Bayoumi dan teman-temannya melecehkan Firdaus, hingga ia berhasil kabur dan tanpa sadar tiba di tepi Sungai Nil.
Di tepi sungai, Firdaus bertemu dengan Shafira Salah el Dine, seorang pelacur yang memberinya nasihat bijak tentang kerasnya hidup. Shafira menjadi mentor bagi Firdaus, yang kemudian mengikuti jejaknya menjadi pelacur. Namun, seorang pria bernama Fauzi mengungkapkan bahwa Shafira sebenarnya seorang penipu, membuat Firdaus kembali melarikan diri.
Firdaus, kini kehilangan arah, kembali bekerja sebagai pelacur. Suatu hari, ia menerima hinaan tajam dari teman-temannya, yang mendorongnya untuk meninggalkan pekerjaan itu dan bekerja di industri. Di sana, ia bertemu dengan Ibrahim, seorang pria revolusioner yang menjadi impiannya. Namun, Ibrahim sudah bertunangan dengan anak direktur perusahaan, menghancurkan harapan Firdaus sekali lagi.
Terjebak dalam kehidupan pelacuran, Firdaus menyadari kecerdasannya yang tak dimanfaatkan. Suatu hari, ia bertemu dengan mucikari bernama Marzouk, yang mengancam dan memaksanya bekerja untuknya. Firdaus merasa lebih terperangkap daripada sebelumnya, hanya dianggap sebagai mesin yang bekerja siang malam. Ketegangan memuncak ketika Marzouk mencoba menyerangnya dengan pisau. Dalam pergulatan, Firdaus berhasil membalikkan pisau itu, menewaskan Marzouk.
Firdaus ditangkap dan divonis hukuman mati. Saat diminta mengajukan grasi kepada presiden, Firdaus menolak, melihat hukuman mati sebagai satu-satunya jalan untuk benar-benar bebas dari kekuasaan laki-laki yang telah merusak hidupnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H