Kondisi ekonomi nasional yang diwarnai dengan merosotnya daya beli ternyata belum terpengaruh terhadap omset penjualan kedai kopi di kota Bandung. Sebagian besar pemilik kedai kopi mengambil keputusan berdasarkan intuisi atau persepsi terhadap lingkungan bisnis.
Demikian pula dalam proses pengambilan keputusan strategis, pengelola kedai kopi sering kali tanpa melalui perencanaan yang terstruktur, tidak mengembangkan sebuah perencanaan formal dan terhanyut dalam situasi yang ada dan relatif mengikuti mode serta pemenuhan kebutuhan pasarnya.
Kedai kopi biasa dipakai tempat berkumpulnya remaja, hingga orang tua yang ada hampir di setiap perumahan. Tren konsumsi kopi di kalangan kaum muda berpotensi besar meningkatkan jumlah konsumsi kopi di Indonesia. Pernyataan tersebut didukung oleh data yang bersumber dari International Coffee Organization (ICO) yang menunjukkan adanya tren kenaikan konsumsi kopi di Indonesia secara signifikan.
Sejak 2015 ICO merilis data pertumbuhan jumlah peminum kopi di Indonesia, yaitu sebesar 8 persen lebih besar daripada pertumbuhan dunia yang hanya mencapai 6 persen. Selaras dengan ICO, data Hasil Proyeksi Konsumsi Kopi di Indonesia yang dirilis oleh Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementerian Pertanian menunjukkan terjadinya peningkatan konsumsi kopi nasional selama 4 tahun terakhir. Rata-rata pertumbuhan konsumsi kopi nasional mencapai angka 2,49 persen.
Apabila melihat data peningkatan konsumsi kopi tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa bisnis kedai kopi merupakan bisnis yang memiliki prospek yang baik ke depannya. Sehingga perlu menginovasikan model bisnisnya agar dapat menarik para konsumen.
Inovasi pada kedai kopi di Kota Bandung sebaiknya disertai dengan melakukan strategi kolaborasi kreatif. Karena portofolio usaha kedai kopi di masa mendatang semakin mengalami irisan dengan industri kreatif, travel dan sosial media untuk penetrasi pasar.
Usaha kedai kopi anak muda mesti meneladani para marketers kelas dunia yang berhasil menerapkan emotional marketing. Contoh emotional marketing yang berhasil diterapkan secara gemilang dilakukan Howard Schultz dari Starbucks. Konsep third place for drinking coffee Starbucks penuh konstrain emotional marketing tersebut perlu diadopsi.
Konsep diatas mesti ditiru, dimana portofolio usahanya memerlukan transformasi ke arah kolaborasi kreatif (collaboration creation ) dalam model bisnisnya. Perlu inisiatif kolaborasi antar kedai atau home industry terkait produk yang dijajakan oleh kedai kopi. Pentingnya menciptakan sebuah platform lewat media sosial. Pentingnya kedai kopi di perumahan membuat ekosistem kolaborasi kreatif jika ada acara pernikahan atau hajatan di perumahan tersebut untuk menyediakan minuman dan jajanan untuk tamu undangan. Kedai kopi juga perlu inovasi pelayanan antar kopi dan makanan ke rumah-rumah.
Usaha kedai kopi perlu memperhatikan dengan seksama tentang kenikmatan kopi. Nikmat kopi memang subjektif, namun perlu dipertanyakan terus menerus kepada para pelanggan. Agar komposisi dan cara meracik kopi tepat di lidah pelanggan. Biasanya kopi yang kurang enak rasanya over. Bisa terlalu pahit, bisa terlalu asam. Jika ini yang terjadi kehadiran es bisa sedikit menyelamatkan. Tapi jika yang terjadi adalah rasa atau aroma yang ganjil perlu berkreasi dengan mencampurnya dengan susu cair atau madu dan sirup rupa-rupa sesuai dengan kehendak konsumen.
Perlu meniru inovasi media yang telah dibangun oleh Starbucks, yang mana konsumen diundang oleh untuk aktif memberikan ide atau gagasannya tentang aroma dan cita rasa. Melalui proses kolaborasi kreatif inilah akhirnya Starbucks berhasil membuat aneka produk yang lebih enak, sehat dan sesuai dengan hasrat sebagian besar konsumennya. [SRIM]