Publik tersentak membaca berita kematian Opa Hans Tomasoa (83) dan Oma Rita Wattimena (72) yang boleh dibilang tragis. Kisah sepasang suami istri yang tinggal di Desa Singajaya, Jonggol, Kabupaten Bogor, mencuatkan hikmah terhadap negeri ini. Bahwa perlu memikirkan penerapan konsep ageing in place atau Panti Wreda yang hingga kini masih mencari bentuk yang sesuai dengan budaya dan kondisi sosial masyarakat.
Tragedi pasangan di Bogor itu ibarat ditamparnya pipi masyarakat oleh Nelson Mandela. Tokoh dunia ini sering menekankan bahwa "Sebuah masyarakat tidak dapat dihakimi sebaik apapun hingga kita melihat bagaimana masyarakat itu memperlakukan lansia." Maka, sudah seharusnya kita sebagai masyarakat memperhatikan dan memastikan kesejahteraan para lansia.
Menurut Perserikatan Bangsa Bangsa, bangsa Indonesia termasuk ke dalam lima besar negara dengan jumlah lansia terbanyak. Berdasarkan UU No. 13 tahun 1998 Pasal 1 Ayat 2 mengenai kesejahteraan lanjut usia, bahwa lansia didefinisikan sebagai seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
Jumlah persentase penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2020 tercatat sebesar 10,7 persen. Diproyeksikan terus meningkat dan pada tahun 2045 akan mencapai 20 persen atau hampir satu perlima dari total penduduk.
Idealnya para lansia tetap tinggal dengan nyaman di rumahnya bersama dengan keluarga, sesuai dengan konsep ageing in place. Namun kondisi demografi dan sosial ekonomi saat ini konsep tersebut mendapat rintangan yang berat.
Ageing in place didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk hidup dan menetap di rumah dan komunitasnya secara aman, mandiri, dan nyaman, di luar faktor usia, pendapatan, dan tingkat kemampuan yang dimiliki.Â
Secara detail, ageing in place juga merujuk kepada sebuah kesempatan bagi lansia untuk tetap tinggal di rumahnya selama mungkin, tanpa harus dipindahkan ke institusi perawatan, yakni panti jompo.
Di Indonesia, sebanyak 34,71 persen lansia tinggal bersama keluarga tiga generasi. Nilai ini terus menurun searah dengan kondisi sosial ekonomi generasi di bawahnya. Menurut Kemenkes data lansia yang benar-benar hidup sehat tanpa penyakit hanya 20 persen, 60 persen mengidap beberapa penyakit, dan sisanya sudah ketergantungan dan membutuhkan bantuan.
Konsep atau Tindakan Ageing in Place ini mulai menuai beberapa kritik karena tidak mengakomodir konsep inklusivitas dan tidak jarang memarginalkan lansia yang tidak memiliki sumber daya.
Selain itu, pada realitanya, tidak semua keluarga dapat memenuhi kebutuhan dan merawat lansia dengan baik, sehingga lansia cukup sering merasa terlantar dan terasingkan justru di dalam keluarganya sendiri. Di tengah kuatnya narasi terkait ageing in place, panti wreda hadir untuk memenuhi kebutuhan hidup, memberikan perlindungan sosial, serta memberikan dukungan, dalam upaya mencapai kesejahteraan lansia.
Ironisnya eksistensi Panti Wreda juga menuai kritik dan resistensi karena dianggap tabu oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan bertentangan dengan adat istiadat yang berlaku, adanya stigma yang menyatakan bahwa tempat ini hanya diperuntukkan bagi lansia yang terlantar saja, serta cukup maraknya lansia di panti wreda yang mengalami masalah psikologis seperti depresi.
Merujuk data Kementerian Sosial, hingga tahun 2022, ada sekitar 800 panti jompo di Indonesia dengan total penghuni mencapai 25.000 orang. Angka ini terus meningkat seiring bertambahnya umur harapan hidup penduduk Indonesia.
Pasal 9 Undang-Undang No.13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia menyebutkan bahwa lansia berhak atas perlindungan sosial yang meliputi pelayanan dan perawatan.
Penanganan Lansia yang terlantar dalam konteks Indonesia, seringkali identik dengan perawatan institusi, yang dalam hal ini panti wreda,sebagai contoh UU No.13 tahun 1998 jelas menyatakan bahwa panti wreda, khususnya yang milik pemerintah, diperuntukan bagi lansia terlantar.
Perlu dicari jalan tengah terkait dengan pro kontra antara ageing in place dengan perawatan institusi, yang selama ini menempatkan dua konsep ini berlawanan.
Patut diperhatikan pendapat pakar Gerontologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof.Dr. dr. Siti Setiati, Sp.PD-KGer, yang mengatakan bagi lansia yang lebih senang berinteraksi dengan orang-orang sebaya dibanding anak atau cucu, panti wreda bisa jadi pilihan agar bisa tetap bersosialisasi dan memenuhi kebutuhan sosial.
Panti jompo memainkan peran penting dalam memberikan perawatan dan dukungan kepada lansia, dan individu yang rentan. Menurut penelitian Kemenkes pada tahun 2019, persentase lansia di Indonesia yang mengalami kesepian ringan yakni sebesar 69 persen, kesepian sedang sebesar 11 persen, serta kesepian berat sebesar 2 persen.Â
Pada kasus depresi, adapun persentasenya sebesar 6,5 persen pada usia 55-64 tahun, 8 persen pada usia 65-74 tahun, serta 8,9 persen pada usia di atas 75 tahun. Kasus depresi pada lansia 2,4 persen lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia produktif di rentang usia 55 -- 64 tahun.Â
Beberapa penyebab dari kejadian depresi yang meningkat pada lansia adalah keterasingan sosial, penurunan kondisi kesehatan yang mengarah pada penurunan kemampuan merawat diri, dan peningkatan disabilitas pada lansia. [ SRIM ]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI