Usianya masih 20 tahun, ketika seluruh fasilitas umum di Inggris ditutup termasuk tempatnya berkuliah sebagai langkah antisipasi pemerintah untuk mencegah penyebaran wabah penyakit pes oleh infeksi bakteri yang terjadi pada tahun 1665.Â
Dua tahun belajar di rumah, memberinya waktu untuk menyelesaikan sebuah jurnal matematika yang panjang dan hasilnya kini dapat dinikmati ketika mempelajari ilmu kalkulus. Â Ia kemudian bereksperimen memanfaatkan cahaya yang masuk ke dalam kamarnya menggunakan prisma kaca dan menemukan penjelasan tentang teori optik. Â
Tidak hanya itu, pohon apel yang tumbuh di balik jendela kamarnya memberi pencerahan tentang sebuah teori. Â Ketika ia duduk di taman luar rumah, apel- apel berjatuhan mengenai kepalanya. Â Kejadian itu menjadi peristiwa memorable bagi lahirnya teori besar dan bermanfaat hingga saat ini yang dikenal sebagai teori gravitasi. Â
Kisahnya di tulis lengkap oleh Washington Post, sebuah media cetak yang besar masa itu. Â Kini, sangat mudah menemukan nama, karya bahkan kisah hidupnya dalam mesin pencari digital dan buku-buku sains modern sekalipun karyanya lahir di periode klasik. Â Ia dikenal dengan nama Isaac Newton.
Kisah Isaac Newton menjadi kisah yang diajarkan dan diceritakan berulang-ulang di banyak forum selama masa pandemi sejak bulan Oktober 2019 sebagai kisah yang inspiratif. Kisah yang membakar semangat para pencari ilmu agar tidak menjadikan pandemi sebagai alasan untuk berhenti belajar. Sebagai mahasiswi di level magister, kisahnya sangat menyentuh dan berkesan dilihat dari berbagai perspektif .
Bayangkan saja bagaimana semangat intelektual Isaac Newton saat itu. Di tengah wabah yang mengancam dan pembatasan sosial, ia tidak terpaku pada keadaan.Â
Pikirannya tidak terpenjara di dalam kamar, namun mengembara, menjelajah mencari jawaban dari pertanyaan yang muncul. Tanpa perangkat teknologi ber-icon apel tergigit, tanpa akses ke mesin pencari google, tanpa ponsel pintar agar bisa tersambung dengan siapa pun di belahan bumi lain atau perangkat audio visual canggih untuk bereksperimen. Ia berkawan dengan buku dan lembar-lembar catatannya. Â Bereksperimen dari balik kamar. Hingga akhirnya, Â melahirkan karya besar untuk dipersembahkan kepada peradaban.Â
Jika di era Isaac Newton, kampus benar-benar ditutup dan proses pembelajaran terhenti, berbeda halnya dengan yang terjadi saat ini. Di tingkat universitas, kebijakan pemerintah menutup seluruh kampus bukan berarti proses pembelajaran berhenti. Namun, pola pembelajaran diubah dari pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran virtual atau yang dikenal dengan nama pembelajaran daring (dalam jaringan). Hampir 100% pembelajaran dilaksanakan dengan menggunakan media online.Â
Pilihan model pembelajarannya sangat beragam sesuai dengan kebutuhan pengguna. Â Baik untuk dosen maupun mahasiswa. Â Kontennya pun bervariasi tergantung jenis subjek yang dipilih. Â Mengumpulkan materi untuk meyusun makalah, membuat essai, menulis resume ataupun mengerjakan tugas-tugas perkuliahan lainnya menjadi praktis. Tugas-tugas yang telah selesai dikumpulkan dalam bentuk soft copy, lalu dikirim kepada dosen hanya dalam hitungan detik.Â
Sumber informasi terbuka luas sehingga tugas-tugas yang dibebankan dengan berbasis ilmu terapan menjadi lebih mudah. Beragam pilihan platform menawarkan akses pada setiap informasi terkait artikel, jurnal, tesis, buku hingga biografi para tokoh. Kemudahan mengakses informasi, menyebarkan, menyusun kembali, hingga membuat sesuatu yang baru menjadi produk sistem pendidikan di tengah pandemi.
Pola pembelajaran ini terasa sangat ideal jika ditinjau dari segi pemanfaatan waktu dan efisiensi tempat. Mahasiswa tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berpakaian rapi dari ujung kaki hingga ujung rambut. Â Bahkan tidak perlu memakai minyak wangi, gel rambut, kaos kaki hingga tidak perlu keluar rumah membelah jalan menuju kampus. Â Hanya perlu terlihat rapi sebatas setengah badan di depan layar laptop. Selain itu, waktu dan tempat pembelajaran bersifat fleksibel dengan syarat tidak ada kendala dalam mengakses internet.