Sering terjadi adu argumentasi di pangkalan elpiji gegara calon pembeli yang ditolak karena tidak membawa 'kertas sakti' itu.Â
Debat tanpa moderator dan suporter seperti debat capres cawapres itu, selalu diakhiri nasib pilu warga miskin. Sudah kehilangan waktu, tenaga dan asa, mereka harus pulang dengan tangan hampa menjinjing kembali tabung gas kosongnya.Â
Padahal tabung gas penuh adalah sebuah harapan untuk melanjutkan sesi masak memasak dalam kehidupan mereka.Â
Bagi masyarakat yang nafkahnya adalah berjualan, 'melon berisi'berarti ada harapan melanjutkan usaha mencari rejeki.Â
Sementara mereka yang menggunakan untuk keperluan rumah tangga, kepulan asap dapur tergantung ketersediaan gas subsidi itu. Kompor minyak tanah semakin langka digunakan karena harga minyaknya setara dengan harga gas elpiji non subsidi.Â
Fotokopi KTP tidak hanya dipakai untuk 'membeli' elpiji melon saja. Masih banyak keperluan administratif dengan pemerintah yang harus menyediakan fotokopi KTP beserta segala dokumen pendukungnya. Urusan BPJS dan bansos adalah contoh gampangnya.Â
Ironisnya, pihak yang paling banyak berurusan dengan dua contoh diatas adalah masyarakat miskin.Â
Dompet mereka bertambah tebal berisi berbagai kertas fotokopian untuk memenuhi syarat administrasi negara. Selain fotokopi KTP, nota dan kwitansi pembelian adalah teman setia yang menemani dokumen KW itu.Â
Menjadi ironi karena pemerintah bertekad untuk melakukan kebijakan tanpa dokumen kertas. Namun semakin banyak kertas yang harus dilampirkan.Â
Ironi bertambah ketika masyarakat miskinlah yang selalu kerepotan mengurus administrasi urusan pemerintahan. Sudah repot, masih keluar biaya untuk fotokopi ini itu. Â
Bagi masyarakat pra sejahtera, semakin tebal dompetnya berarti semakin banyak administrasi yang harus diurus.Â