Saya tidak melakukan apa apa selain memandangi saja. Saya tahu diri bahwa fisik ini tidak cukup ganteng untuk bersanding dengan seorang artis. Plus, cowok miskin seperti saya tidak akan mampu membiayai, walaupun sekedar mentraktir sarapannya saja.Â
Nah, untuk yang naksir Ibu Siti Atikoh ini memang agak beda. Lupa lupa ingat bahwa saya naksir beliau. Saya sibuk jualan bubur ayam dan sop ayam.
Jam setengah 4 pagi saya bangun, siap siap lalu menuju warung. Sat set sat set sendirian membuat bubur, ayam kare, ayam goreng lalu semua pernak pernik tambahan untuk hidangannya. Masih harus memasak lagi untuk jualan sop.Â
Sembari memasak, saya harus menyapu halaman warung, lap meja siapkan kursi dll. Pokoknya super sibuk sehingga tidak ingat yang lain lain.Â
Kelar memasak, bersih bersih dan segala macam persiapannya, warung saya buka siap melayani pelanggan. Jam 06.30 pagi hingga 21.00 adalah jam buka warung saya.
Jam 7 pagi, kakak saya datang untuk membantu. Setelah jam itulah saya mulai agak bebas. Mulai buka HP untuk melihat informasi terbaru termasuk mengunjungi Kompasiana.Â
Saat menelusuri informasi dan menemukan berita yang ada foto Ibu Siti Atikoh, barulah ingat bahwa saya ngefans beliau.Â
Lalu apa yang saya harapkan dari kondisi per-naksir-an ini?Â
Tidak ada. Saya tidak ingin dengan sengaja bertemu beliau. Tidak pula mengajak orang lain untuk ngefans lalu memilih sang suami dalam pemilu nanti. Walaupun tetap berharap bahwa beliau akan menjadi ibu negara, namun saya tidak akan ikutan mengkampanyekannya.Â
Alasan saya ingin beliau menjadi ibu negara karena dua hal.Â
Yang pertama karena akan sering melihat ibu Siti Atikoh dalam ketika mendampingi sang suami dan kegiatannya sebagai seorang istri RI 1. Semakin sering diliput, semakin sering pula saya akan melihat senyum segarnya.Â