Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Menggugat Keadilan K-Reward

8 Oktober 2023   06:00 Diperbarui: 8 Oktober 2023   06:57 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Agar mendapat view banyak, sengaja judulnya pedas kaya cabe rawit namun rasa sebenarnya cuma sambal sasetan. 

Dua suhu kompasianer 'berseteru' via tulisan. Yang satu ahli dibidang perpuisian, atunya lagi mengaku penyair jadi jadian. K-rewardlah yang jadi biangnya. 

Untungnya mereka tidak berbalas puisi. Jika demikian, pusinglah kepala barbie yang tak ngerti kata kata berbunga ala pujangga. 

Ngomong Krewod itu sensitif. Salah pegang (baca: komentar) diomeli, pegang yang bener dianggap mata duitan. Makanya banyak yang hati hati saat memberi komen. 

Ada yang dibalut canda tetapi sebenarnya merana. Eh, ada Kompasianer  yang trauma karena merasakan pedih, perih, sedih dan ngilu. Komplikasi perasaan yang begini ini bagaimana cara menyembuhkannya? 

Krewod berarti duit. Walaupun bentuknya tak kasat, tapi nominalnya memanjakan mata bagi penerima di deretan paling atas. 

Kreword adalah balas jasa atas tulisan yang banyak mendapat UniqeViews  (UV) menurut Google Analitic. Nah UV gimana cara ngitungnya, Admin K dari dulu gak bisa menjelaskannya. 'Rahasia Google" Alasannya.

'Perseteruan' dua Kompasianer senior itu begini.

Kners yang satu mengunggah tulisan bahwa sistem Kreword sekarang gak adil. Beliau tidak bisa melihat dan menghitung berapa banyak UV yang didapatnya. Jumlah pembaca yang digambarkan lewat simbol mata di sebuah artikel tidak mewakili jumlah view sebenarnya. 

 "Hapus saja",  pemenang salah satu penghargaan Kompasianer of the year itu lumayan berang. Penulis pemenang penghargaan saja emosi, jadilah saya ikut emosi. 

Nah, Kompasianer suhu yang lain menganggap kreword cukup adil. Krewod  diberikan tanpa unsur SARA, juga tidak berdasarkan jumlah angka di samping tanda mata. Angka tersebut tidak diperhitungkan walaupun nominalnya jutaan. Kalau UVnya dikit ya gak ngaruh ke krewod. 

Ibaratnya tulisan bermutu berlian yang ditulis hingga tengah malam sampai jempol kesemutan, tidak menjamin krewodmu kertas merah bergambar Soekarno -Hatta memenuhi dompet. Boro boro kertas merah, bisa dapat yang berwarna hijau untuk beli soto plus es teh pun sudah untung. 

Suhu yang satu ini memang adil. Walaupun pernah curhat hatinya remuk redam  dikecewakan kreword, namun beliau dengan bijak menunjukkan obyektivitasnya. 

Di mata saya pribadi krewod adil ga adil. 

Saya sebut adil karena ini 'kompetisi' terbuka lewat tulisan. Artinya siapa saja bisa mendapat banyak jika berusaha. Tips dan triknya juga banyak dijabarkan. Admin K sendiri sudah menjelaskan bagaimana tulisan kita bisa mendapat UV banyak. 

Kalau mau manut saran admin K, Kners tidak perlu begadang hingga pijat jempol hanya untuk membuat tulisan hingga rentengan dan bagus. Cukup perbanyak membaca lalu ditulis ulang dengan dibumbui sana sini agar tidak kena jaring unsur plagiat. 

Tema tulisan diusahakan masalah yang lagi rame. Jika sudah masuk Google Trend, niscaya tulisan kita berpotensi mendulang UV. 

Jika diamati, Kners yang mendapat kreword orangnya banyak yang sama setiap bulannya. Apakah mereka orang beruntung atau gigih berusaha, silakan dinilai sendiri. 

Saya jadi ingat soal 'perseteruan' kreword.

Beberapa tahun yang lalu upaya 'balas jasa' admin K ini sempat menimbulkan perseteruan seru. 

'Jual beli' argumentasi disertai emosi, lewat tulisan dan percakapan pribadi mewarnai Kompasiana. Beberapa Kompasianer suhu harus urun jempol untuk meredam situasi. 

Karena sistem yang belum bagus, penghargaan rupiah ini menjadi ajang mencari nafkah dengan memanfaatkan kelemahannya. 

Akun 'palsu' hingga memanfaatkan iklan digunakan untuk mendapatkan views sebanyak banyaknya. 

Artikel yang dianggitpun ada yang tidak mengambil sumber resmi alias ilegal demi memberikan info terkini. 

Akibatnya Kners yang mendapatkan kreword tertinggi didominasi oleh segelintir penulis. Mereka bisa disebut penulis cerdik namun juga tricky. 

Setelah mendapat masukan beberapa Kompasianer disertai data valid, akhirnya Admin K merubah sistemnya. 

Selain adil, saya juga menilai sistem kreword sekarang tidak adil. 

Bingung? 

Kompasiana adalah anak media mainstream Kompas yang dikenal bermutu dan kredibel. Sayangnya sistem kreword tidak memandang mutu tulisan. 

" Yang penting viralitas, bukan kualitas", begitu tulis Sang Suhu, mungkin sambil termangu. Adil kah? 

Dulu para kompasianer berisi orang orang 'berisi' yang ingin berbagi. 'Berisi' dalam arti mereka mereka yang melek informasi dan literasi. Karena penulisnya berisi, tentu tulisan yang diberikan bukan karya kaleng kaleng. 

Pembaca maupun penulis Kompasiana berkaitan erat dengan Kompas, sang induk semang. Akhirnya Kompasiana dikenal punya nama hampir identik dengan Kompas. Kumpulan orang orang dan tulisan cerdas. Dikenal, dibaca dan menjadi jujugan jutaan warga. 

Lha kalau Kompasiana yang pembacanya hingga jutaan lantas artikel bermutu tak mendapat ganjaran, apa kata dunia?

Akhir akhir ini saya jarang menemukan tulisan kners kawakan yang dulu ikut bersuka rela membangun dan menggaung bayi Kompasiana. Sepertinya mereka ghosting. Perlahan menghilang tanpa disuruh, tak mau datang ketika dipanggil. 

Bagi mereka karya yang bagus adalah sebuah keharusan. Ada kepakaran dan susah payah dalam membuatnya. Jadi, wajar jika mereka berharap ada sedikit penghargaan yang didapat. Mungkin bukan uang. Entah apa, silakan admin K yang memikirkan. 

Saya tidak tahu alasan mereka enggan atau berhenti menulis lagi. Apakah kreword menjadi salah satu penyebabnya? Mudah mudahan bukan demikian. 

Sejak dari pertama diadakan, kreword sering menjadi masalah atau dipermasalahkan. Pernah karena sistemnya, sering karena jumlah rupiah. Dan sekarang yang dipertanyakan masalah keadilannya. 

Adil tak adil itu bisa jadi subyektif. Adil bagimu belum tentu adil bagiku. 

Adil atau tidaknya sistem kreword yang sekarang tidak berpengaruh bagi Kompasianer pemalas seperti saya. 

Namun yang pasti, krewod untukmu jelas bukan kreword untukku. Kecuali dikau mau traktir daku. 

Mengutip kalimat legen Pebrianov, Kompasianer legen yang ikutan ghosting. 

"Aku sih rapopo"

Salatiga, 07102023.180.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun