Namun untuk kelas nasional, diubahlah ngebon menjadi paylater agar keminggris dan lebih terlihat elite karena prosesnya sedikit berbelit.Â
Dari dulu saya tidak suka paylater di warung. Saya pernah menjadi pendamping pelaku UMKM sehingga tahu betapa menderitanya mereka jika terkena paylater oleh pelanggannya.Â
Penderitaanya bukan hanya kesulitan membeli bahan atau barang untuk dijual, tetapi bisa lebih parah lagi yaitu bangkrut. Hal ini jarang dipahami oleh 'penggemar' paylater.Â
Mari kita buat hitung hitungan kecil soal uang terkait paylater/ngebon.
Kita minun teh dan makan bakwan seharga Rp 5 ribu lalu ngebon kepada pemilik warung.
Anggap setiap bakwan pemilik warung ambil untung Rp 200. Maka untuk menutupi hutang kita, pemilik warung harus bisa menjual 25 bakwan!Â
Mungkin pemilik warung bisa menutup 5 ribu tadi dengan laba dari dagangan lain seperti teh atau rokok.
Namun harus diingat bahwa yang paylater itu bukan hanya 1 atau 2 orang, tapi bisa belasan orang.
Jika dikalikan dengan jumlah hutang mereka, hasilnya bisa puluhan ribu, ratusan ribu hingga jutaan rupiah!Â
Dan perlu diingat juga, belum tentu hutang bisa dibayar hari itu atau besok. Banyak pengutang yang harus nunggu gajian atau punya uang dulu untuk bisa membayar hutangnya. Waktunya bisa seminggu, sebulan atau lebih atau malahan tak terbayar.Â
Nah, sekarang bisa mengerti kan betapa bingungnya pemilik warung untuk mendapatkan modalnya kembali?Â