Artikel ini bukan berarti meremehkan omicron, tapi karena sudah melewati masa sengsara terkena penyakit milenial global ini, saya bisa bercerita dengan gembira sambil sesekali terbatuk batuk.Â
Pertengahan Pebruari lalu saya merasakan tenggorokan yang agak sakit, biasanya itu pertanda saya akan kena flu atau batuk. Saya tetap bandel dan terus kerja walaupun setiap hari berkendara puluhan kilometer di terpa hujan hingga beberapa jam. Saya pikir dengan minum vitamin, madu dan makan yang banyak, gejala sakit itu bisa teratasi.Â
Namun saya lupa bahwa usia sudah lebih dari setengah abad. Walaupun saya tidak merokok, minum miras dan beristirahat dengan cukup, faktor U atau umur tetap sangat berpengaruh. Stamina sudah tidak sekuat waktu masih muda dulu.Â
Siang itu saya sudah agak pusing, tetapi berhubung poin akun ojol sudah banyak, saya memaksakan diri tetap bekerja walau hujan deras. Saya harus mendapatkan poin 27,5 agar pendapatan bisa digenapkan menjadi 205 ribu.
Sekitar pukul 18.30-an, poin itu tercapai lalu saya pulang sembari menahan pusing yang semakin hebat.Â
Sesampai dirumah saya langsung berusaha  tidur. Tetapi hal itu sulit sekali karena kepala pusing, tubuh menggigil walau panas tubuh tetap normal.Â
Malam itu benar benar malam yang menyiksa. Kepala pusing, badan terasa kedinginan dan yang paling berat adalah tulang dan sendi yang berasa ngilu. Sepanjang malam saya tidak bisa tidur karena badan berasa sakit semua.
Saya tidak tahu apakah ini yang dinamakan kena omicron. Beberapa gejalanya seperti yang digambarkan jika seseorang kena salah satu varian covid itu.Â
Yang jelas kali ini saya lebih memilih sakit gigi daripada penyakit ini. Jika sakit gigi hanya cenat cenut di gigi dan kepala, kali ini seluruh badan terasa cenat cenutnya.Â
Keesokan paginya rasa sakit tidak mereda tapi bertambah parah. Saya memutuskan tidak bekerja dan beristirahat dirumah. Saat itu saya berpikir bahwa ini efek kecapekan saja karena saya tidak pernah libur, padahal setiap hari bekerja lebih dari 10 jam dan sering diguyur hujan.Â