Mohon tunggu...
SRI HARTONO
SRI HARTONO Mohon Tunggu... Supir - Mantan tukang ojol, kini buka warung bubur ayam

Yang penting usaha

Selanjutnya

Tutup

Humor

Childfree, Childish?

29 Agustus 2021   13:32 Diperbarui: 29 Agustus 2021   19:23 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Childfree? 

Tidak mau punya anak? 

Anak berarti biaya mahal? 

Tidak mau direpotkan? 

Ah, tampaknya Bro n Sis ini dolane kadohan (mainnya kejauhan). Baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Kebanyakan ke Eropa, Amerika, Jepang dan, yang paling dekat, Singapura. 

Ketika dolan ke Eropa dan Amerika, mereka ketemunya orang orang yang individual. Lebih senang dengan gaya hidup; 'Lu Lu, Gue Gue, End'

Kalau pas main ke Jepang atau Singapura, yang dijumpai orang yang sibuk kerja keras, hampir gak ada waktu untuk leyeh leyeh (bersantai). Soalnya hidup disana sangat mahal, gak kerja gak makan. Punya anak pasti tambah biaya. Belum repot mengurusnya. Kalau mau diurus orang lain ya harus bayar ART. ARTnya impor, soalnya kalau ART lokal biayanya lebih mahal. Punya ART impor itu jelas gak gampang. Beda bahasa beda budaya. Banyak repotnya juga. 

Sebenarnya kalau mau belok sedikit ke China, pasti jadi mikir kalau mau Childfree. Dulu di China ada kebijakan satu anak. Laki atau perempuan sama saja. Padahal kebudayaan China itu sangat penting untuk meneruskan marga. Sayangnya hanya oleh anak laki laki saja yang bisa. Makanya kalau pasangan di China punya anak perempuan, pasti diumpetin kadang malah tidak diakui. Maunya punya anak laki laki. Supaya bisa meneruskan kelangsungan hidup marganya. Begitu berartinya anak laki laki bagi orang China.

Sekarang balik ke Indonesia. 

Kalau di Jepang dan Singapura orang pingin Childfree itu bisa dimaklumi. Mereka cari kerja susah. Beli barang pun harganya mahal. Tapi kan beda kalau di Indonesia. Peluang kerja masih banyak, apalagi kalau mau keluar Jawa. Maka saya bilang mainmu kejauhan, kebanyakan keluar negeri, padahal di Indonesia kehidupan bisa lebih nyaman. 

Harga makanan di Indonesia masih banyak yang  murah. Di kampung saya beli bubur plus sayur harga 3 ribu masih banyak yang jual. Kalau di Jakarta sekali parkir bisa habis 20 ribu. Di Salatiga uang sekali parkir itu bisa buat beli sarapan bubur seminggu. 

Saya bilang cari kerja di luar Jawa itu lebih mudah. 

Dulu waktu saya keluar Jawa, bisa program komputer Ms. WORD  dan Excell sudah paling pintar seKecamatan. Lha disana listrik masih giliran. Seminggu cuma hidup 2 kali. Itu saja dari jam 6 sore sampai jam 11 malam. Kalau hujan deras, kabel ketimpa pohon, listrik jadi wasallam. Bisa dibayangkan, siapa yang bisa mengoperasikan komputer. Hampir tidak ada. 

Lalu bahasa Inggris saya yang ala kadarnya pun jadi paling oke no 3 seKecamatan yang sama. Nomor 1 guru bahasa Inggris yang ngajar SMA, nomor 2 nya guru bahasa Inggris SMP. Namun itu bisa berubah kalau ada bule yang datang. Kalau yang datang 1, saya berubah jadi rangking 4. Kalau yang datang 100, rangking saya melorot jadi 103. He he he

Itu tadi untuk menggambarkan bahwa kalau di luar Jawa, dengan kemampuan terbatas pun masih bisa jadi yang teratas. Peluang mendapat kerja lebih banyak. 

Lha kalau katanya tidak mau direpotin, dari dulu sampai sekarang, apa kita tidak merepotkan orang lain. Orang tua, saudara, pasangan dan teman teman. 

Apa kita tidak pernah sakit. Apa kita tidak pernah sedih? Kesepian? Kalau sakit atau sedih atau kesepian, siapa yang menolong? Siapa yang repot. 

Saat ini memang mereka masih bisa kita repoti. Tetapi harus diingat orang tua, saudara, pasangan, teman juga mengalami hal yang sama. Mereka juga punya orang lain yang bisa merepotkan dan di repoti. Kalau sudah begitu, mereka tidak sempat mengurus kita. 

Juga harus diingat, suatu saat mereka juga harus meninggalkan kita. Entah pergi, entah sakit ataupun meninggal. 

Kita bisa saja sendirian. Seperti tinggal dihutan. Sakit tidak ada yang mengobati, meninggal tidak ada yang mengurusi. Kalau mati tidak ketahuan, polisilah yang kemudian kerepotan. 

Punya anak itu tidak hanya merepotkan, tetapi juga menyenangkan. Lihatlah keluarga bahagia disekitar kita. Mereka adalah keluarga yang berhasil mendidik anaknya dengan baik. Para orang tua itu kalau sakit tetap ada yang merawat. Kalau butuh sesuatu tinggal minta anaknya. Seringkali tidak minta malahan diberi. Mereka kalau meninggal tidak merepotkan tetangga, apalagi kepolisian. Mereka juga tidak kuatir harta warisannya jadi rebutan. Tinggal bikin surat warisan yang adil, jerih payah puluhan tahun terselamatkan. 

Saran saya, Bro n Sis, kalau mau memutuskan childfree dengan pasangan, pikirkan dulu matang matang. 

Kelak Anda akan tua, kelak Anda akan sendirian. 

Hidup Anda memang milik Anda. Tetapi jangan lupa bahwa Anda juga milik orang lain. Orang yang membutuhkan sekaligus Anda butuhkan juga. 

Masih ingat pikiran kita ketika masih anak anak? 

"Aku ya aku. Milikku ya milikku. Punyamu itu milikku"

Apakah itu masih ada di pikiran Anda? 

Sekian.. 

Ditulis oleh seseorang yang tidak punya pasangan sampai umur 37 tahun. Sekarang sudah hidup tenang dengan 1 istri dan 2 anak. Walaupun cuma menjadi tukang ojek online. 

Lho, humornya mana? 

Ah, humornya kalau yang mau CHILDFREE berubah menjadi CHILDNEEDED. 

Mulanya emoh anak, kemudian karena baca tulisan ini, menjadi butuh anak. 

Itu istilah yang saya karang sendiri. Jangan dicari di kamus manapun. 

Salatiga 290821.23

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun